BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dinamika kehidupan yang terus kian berjalan dengan sekelumit
perrmasalahan sangatlah membutuhkan teori-teori solutif untuk dapat
menyelesaikannya. Dari sekian permasalahan itu yang dibutuhkan ialah ketegaran
hati yang kuat, yang mungkin telah tertanam dalam hati. Ketegaran yang kuat itu
tidaklah langsung diperoleh seseorang dalam waktu yang singkat. Disinilah
kegunaan pendidikan untuk mengajarkan kepada seseorang akan segala pentingnya
nilai yang harus diperoleh dalam kehidupan.
Dalam perjalanannya, pendidikan salah diartikan dengan sekedar
pengajaran ilmu – ilmu, walau memang pengajaran ilmu-ilmu adalah salah satu
contoh dari aplikasi pendidikan. Makna hakiki dari pendidikan baik secara
teoritis maupun aplikatif ialah mengasuh. Kata rabb dalam etimologi
tuhan dalam bahasa Arab merujuk pada makna mengasuh. Sedang rabb juga
sering dipakai dalam menamai nama fakultas yang mengurusi pendidikan dengan
sebutan tarbiyah.
Sedang dalam Islam sendiri juga memiliki pendidikan tersendiri.
Salah seorang pemikir kontemporer Islam berpendapat bahwa pendidikan Islam yang
terpenting ialah menanamkan iman kepada umat jauh sejak masih kanak-kanak.
Tentu keimanan itu berkait dengan mempercayai Allah SWT, aplikasi menjalankan
ibadah dari mulai solat tepat waktu dan lain – lain. Tentu misi Islam dalam
pendidikan ialah untuk membentuk akhlaqul karimah. Jadi tidaklah memadai
kalau ber-pendidikan baik umum maupun Islam kalau hanya sekedar pengajaran
disekolah saja.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian pendidikan Islam dan misi profetis
2.
Hubungan
antara pendidikan Islam dan misi profetis
Dan
contoh hubungan antara keduanya
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendidikan Islam dan Misi
Profetis
Pengertian pendidikan islam memang sudah cukup banyak dikemukakan oleh
para ahli,meskipun demikian perlu dicermati dalam rangka melihat relevansi
rumusan baik dalam hubungan dengan dasar makna maupun dalam kerangka
tujuan,fungsi dan proses kependidikan islam yang dikembangkan.maka yang
ditekankan disini adalah dalam pengertian pendidikan islam itu sendiri adalah
upaya mempersiapkan manusia supaya hidup bahagia dan sempurna,punya rasa
kebangsaan, berakhlak, berketrampilan, dan mampu berkomunikasi baik lisan
maupun tulisan dengan sebaik-baiknya.
Pengertian pendidikan Islam juga dapat di
artikan sebagai sebuah proses yang dilakukan untuk menciptakan manusia-manusia
yang seutuhnya; beriman dan bertaqwa kepada Tuhan serta mampu mewujudkan
eksistensinya sebagai khalifah Allah dimuka bumi, yang berdasarkan kepada
ajaran Al-qur’an dan Sunnah, maka tujuan dalam konteks ini terciptanya insan
kamil setelah prosespendidikan berakhir.
Prof. H. Muhamad Daud Ali, S.H. berpendapat
bahwa pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh manusia untuk
mengembangkan potensi manusia lain atau memindahkan nilai-nilai yang
dimilikinya kepada orang lain dalam masyarakat. Proses pemindahan nilai itu
dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya adalah, pertama
melalui pengajaran yaitu proses pemindahan nilai berupa (Ilmu) pengetahuan dari
seorang guru kepada murid-muridnya dari suatu generasi kegenerasi
berikutnya. kedua melalui pelatihan yang dilaksanakan dengan jalan
membiasakan seseorang melakukan pekerjaan tertentu untuk memperoleh
keterampilan mengerjakan pekerjaan tersebut. ketiga melalui
indoktrinnasi yang diselenggarakan agar orang meniru atau mengikuti apa saja
yang diajarkan orang lain tanpa mengijinkan si penerima tersebut mempertanyakan
nilai-nilai yang diajarkan. Sebelum mengarah pada
pokok permasalahan, ada beberapa devinisi menurut beberapa para ahli didik dan
para ahli filsafat:
·
Menurut
Plato, pendidikan ialah mengasuh jasmani dan rohani supaya sampai pada
keindahan dan kesempurna’an yang mungkin dicapai.
·
Peztalozi,
pendidikan ialah menumbuhkan segala tenaga anak-anak dengan pertumbuhan yang
sempurna, lagi seimbang.
·
Immanuel
Kant bahwasanya pendidikan itu adalah membawa manusia kearah kesempurna’an yang
mungkin dicapai.
Demikianlah pendapat para ahli mengenai
pendidikan. Kalau ditinjau kembali dari beberapa pendapat tersebut dapat kita
simpulkan ke dalam dua tujuan pokok, yaitu untuk kecerdasan
perseorangan(individu) dan untuk keluwesan(kemahiran) dalam mengerjakan
pekerja’an.
Pengertian profetis, Profetis disini memiliki
arti kenabian berasal dari kata prophetical(inggris) yang mempunyai
makna Kenabian atau sifat yang ada dalam diri seorang nabi. Yaitu sifat nabi
yang mempunyai ciri sebagai manusia yang ideal tidak hanya secara spiritual-individual,
tetapi juga menjadi pelopor perubahan, membimbing masyarakat ke arah perbaikan
dan melakukan perjuangan tanpa henti melawan penindasan. Dalam sejarah, Nabi
Ibrahim melawan Raja Namrud, Nabi Musa melawan Fir’aun, Nabi Muhammad yang
membimbing kaum miskin dan budak, beliau melawan setiap penindasan dan
ketidakadilan. Dan mempunyai tujuan untuk menuju kearah pembebasan. Dan tepat
menurut Ali Syari’ati “para nabi tidak hanya mengajarkan dzikir dan do’a tetapi
mereka juga datang dengan suatu ideologi pembebasan”.
Allah SWT berfirman dalam QS. 3:110 yang
artinya:
“Engkau adalah ummat terbaik yang
diturunkan/dilahirkan di tengah-tengah manusia untuk menyuruh kepada yang
ma’ruf dan mencegah kemunkaran dan beriman kepada Allah”
Terdapat tiga pilar utama dalam pendidikan
profetik yaitu; amar ma’ruf (humanisasi) mengandung pengertian
memanusiakan manusia(kembali ke fitroh). nahi munkar (liberasi)
mengandung pengertian pembebasan. dan tu’minuna bilah (transendensi),
dimensi keimanan manusia.
Selain itu dalam QS. 3:110 tersebut juga
terdapat empat konsep; Pertama, konsep tentang ummat terbaik (The Chosen
People), ummat Islam sebagai ummat terbaik dengan syarat mengerjakan tiga
hal sebagaimana disebutkan dalam ayat tersebut. Ummat Islam tidak secara
otomatis menjadi The Chosen People, karena ummat Islam dalam konsep The
Chosen People ada sebuah tantangan untuk bekerja lebih keras dan ber-fastabiqul
khairat.
Kedua,
aktivisme atau praksisme gerakan sejarah. Bekerja keras dan ber-fastabiqul
khairat ditengah-tengah ummat manusia (ukhrijat Linnas) berarti
bahwa yang ideal bagi Islam adalah keterlibatan ummat dalam percaturan sejarah.
Pengasingan diri secara ekstrim dan kerahiban tidak dibenarkan dalam Islam.
Para intelektual yang hanya bekerja untuk ilmu atau kecerdasan an sich
tanpa menyapa dan bergelut dengan realitas sosial juga tidak dibenarkan.
Ketiga, pentingnya
kesadaran. Nilai-nilai profetik harus selalu menjadi landasan rasionalitas
nilai bagi setiap praksisme gerakan dan membangun kesadaran ummat, terutama
ummat Islam.
Keempat,
etika profetik, ayat tersebut mengandung etika yang berlaku umum atau untuk
siapa saja baik itu individu (mahasiswa, intelektual, aktivis dan sebagainya)
maupun organisasi (gerakan mahasiswa, universitas, ormas, dan orsospol), maupun
kolektifitas (jama’ah, ummat, kelompok/paguyuban). Point yang terakhir ini
merupakan konsekuensi logis dari tiga kesadaran yang telah dibangun sebelumnya.
Dari pemaparan terakhir inilah kita menyadari
bahwa pergolakan sejarah negeri ini tak terlepas dari peran-peran pemuda yang
mendapatkan pendidikan yang denganya bersinarlah cahaya nurani dengan ilmu
sehingga jeli akan kefitrahan manusia yaitu merdeka dan bebas dari penjajahan
yang yang diperjuangkan atas dasar nilai-nilai robbaniyah dan syumuliyah.
Saat
ini, negeri ini sedang sakit tak kalah sakitnya seperti saat masih terjajah
oleh belanda dan jepang dahulu. Bahkan lebih parah karena ideologi merusak dan
menjajah ditanamkan oleh sebuah konspirasi yang besar ke dalam tubuh
pemuda-pemuda negeri tercinta ini sendiri(ghazwul fikr). Pada akhirnya izzah
dan quwah negeri ini yang terbangun atas nilai-nilai robbani memudar
bahkan hilang sehingga lumpuh dan dengan mudah dapat di hancurkan.
B. Hubungan
Pendidikan Islam dan Misi Profetis
Salah satu gejala dari kemunduran pendidikan Islam di Indonesia
adalah kurang pekanya terhadap tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan. Seperti
sudah dikemukakan di awal bahwa pendidikan di Indonesia
mengalami dilema, di satu sisi enggan untuk meninggalkan
tradisi-tradisi pendidikan lama, karena tradisi baru dianggap hanya merusak
nilai-nilai, di sisi lain pendidikan modern menilai bahwa pendidikan
tradisional bersifat ekslusif dan kolot. Dalam situasi pendidikan yang semakin
tidak menentu tersebut, Hubungan pendidikan Islam
dan profetik diharapkan
tampil sebagai jawaban terhadap berbagai persoalan yang ada.
Pendidikan Islam dan
profetik hadir melalui
pembongkaran terhadap sekat-sekat pengetahuan yang selama ini kurang produkif,
menghapuskan ketakutan-ketakutan terhadap sekularisasi, dan menghilangkan
keraguan akan nilai-nilai tradisional yang selama ini dianggap telah melahirkan
stagnasi.
1.
Rekonstruksi Pemahaman Terhadap Islam
Pendidikan Islam profetik, memuat tiga konsep: pendidikan, Islam,
dan profetik. Untuk memadukan tiga konsep tersebut sehingga menjadi sebuah
konsep integral yang relevan bagi kebutuhan pendidikan kita, maka perlu
diuraikan satu persatu. Hal ini dilakukan supaya tidak terdapat pemahaman yang
setengah-setengah mengenai konsep pendidikan Islam Profetik. Mengenai hakikat
dan makna penting pendidikan sebagai kebutuhan manusia telah disebutkan di
awal, maka kita tinggal melakukan eksplorasi dan pemahaman kembali terhadap
Islam dan profetik.
Islam, secara sederhana dapat dipahami sebagai dua hal, sistem
nilai dan lembaga. Islam sebagai sistem nilai tentu berbeda jauh dengan Islam
yang dipahami sebagai lembaga. Kekeliruan yang telah dilakukan oleh sebagian
masyarakat kita dalam memahami Islam selama ini adalah Islam sebagai lembaga
yang seolah-olah dimaknai sebagai Islam itu sendiri. Jika Islam hanya dimaknai
seperti itu, maka Islam sama halnya dengan Muhammadiyah, NU, Persis, Ahmadiyah,
LDII, dan beberapa lembaga yang selama ini masyarakat lebih fanatik sebagai
salah satu bagian di dalamnya. Islam menjadi sangat sempit dan tidak lagi
universal, Islam seperti itu juga bukan Islam yang menjadi rahmat bagi alam
semesta.
Nurcholis Madjid, dalam salah satu maha karyanya bersama dengan
beberapa temannya di HMI, menulis demikian:
Manusia memerlukan suatu bentuk kepercayaan. Kepercayaan itu akan
melahirkan tata nilai guna menopang hidup dan budayanya. Sikap tanpa percaya
atau ragu yang sempurna tidak mungkin dapat terjadi. Tetapi selain kepercayaan
itu dianut karena kebutuhan dalam waktu yang sama juga harus merupakan
kebenaran. Demikian pula cara berkepercayaan harus pula benar. Menganut
kepercayaan yang salah bukan saja tidak dikehendaki akan tetapi bahkan
berbahaya.
Disebabkan kepercayaan itu diperlukan, maka dalam kenyataan kita
temui bentuk-bentuk kepercayaan yang beraneka ragam di kalangan masyarakat.
Karena bentuk- bentuk kepercayaan itu berbeda satu dengan yang lain, maka sudah
tentu ada dua kemungkinan: kesemuanya itu salah atau salah satu saja
diantaranya yang benar. Disamping itu masing-masing bentuk kepercayaan mungkin
mengandung unsur-unsur kebenaran dan kepalsuan yang campur baur.
Sekalipun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa kepercayaan itu
melahirkan nilai-nilai. Nilai-nilai itu kemudian melembaga dalam tradis-tradisi
yang diwariskan turun temurun dan mengikat anggota masyarakat yang
mendukungnya. Karena kecenderungan tradisi untuk tetap mempertahankan diri terhadap
kemungkinan perubahan nilai-nilai, maka dalam kenyataan ikatan-ikatan tradisi
sering menjadi penghambat perkembangan peradaban dan kemajuan manusia.
Pemaparan Nurcholis Madjid di atas dapat diartikan sebagai
interpretasi terhadap Islam. Namun Islam yang harus dimaknai sebagai komitmen
terhadap kebenaran, sebab Islam mengarahkan manusia kepada kebenaran yang
mutlak sifatnya. Kebenaran yang bukan bersifat relatif, yang terdapat di dalam
diri manusia. Kebenaran yang mutlak hanya diketahui oleh yang paling mengetahui
kebenaran itu sendiri, Dia sebagai pencipta, sebagai sumber, sekaligus
Kebenaran itu sendiri, yaitu Tuhan Yang Maha Sempurna. Dengan demikian bisa
saja Islam kita selama ini bukanlah Islam yang dimaksud oleh Islam itu sendiri,
maka dibutuhkan pembongkaran dan penataan kembali pemahaman kita terhadap
Islam.
C. Ayat
– Ayat Tentang Pendidikan Islam dan Profetis
Ayat- ayat profetis:
و ما أرسلناك إلاّ رحمة للعالمين (الأنبياء:١.٧)
Dan
tiadalah kami mengutus kamu, melainkan (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
و ما أرسلناك إلاّ كافّةً لّلنّاس
بشيراً و نذيرا و لكنّ أكثر الناس لا يعلمون(سباء: ۲٨)
Dan
kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai
pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan tetapi kebanyakan manusia
tiada mengetahui.
Di
dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang menjelaskan fungsi seorang
Nabi-Rasul. Di antaranya, ia datang sebagai seorang saksi (syahīd) bagi
umatnya, sebagaimana yang terakhir ini menjadi saksi bagi orang lain.
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا
شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا [2/البقرة:
143]
Penjelasan
tentang peran sebagai saksi ini dapat diambil dalam kenyataan bahwa
beliau mendidik dan mengarahkan kehidupan umat dan melakukan berbagai upaya
perlindungan. Saksi di sini bukan orang yang melihat dan memperhatikan
kejadian, melainkan orang yang aktif mengarahkan perjalanan sejarah ke arah
yang tepat sebagai sejarah umat beriman.
Kemudian,
Muhammad saw. tidak pernah berhenti berusaha untuk melakukan perbaikan. Dalam
berbagai ayat disebutkan bahwa beliau sedemikian susahnya—bahkan digambarkan
hampir bunuh diri—ketika seruan perbaikan moral yang disampaikannya tidak
mendapatkan sambutan dari kaum beliau. Misalnya dapat dibaca pada ayat berikut;
فَلَعَلَّكَ
بَاخِعٌ نَفْسَكَ عَلَى آثَارِهِمْ إِنْ لَمْ يُؤْمِنُوا بِهَذَا الْحَدِيثِ
أَسَفًا [18/الكهف:
6]
Maka
barangkali kau akan bunuh diri sepeninggal mereka, karena bersedih ketika
mereka tidak mempercayai berita ini?
لَعَلَّكَ
بَاخِعٌ نَفْسَكَ أَلَّا يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ [26/الشعراء: 3]
Barangkali
kau akan bunuh karena mereka tidak percaya.
Memang
di samping itu terdapat ayat-ayat yang menyatakan bahwa beliau hanya bertugas
untuk menyampaikan ajakan, sedangkan apakah mereka yang diseru akan percaya
atau tidak, itu bukan tanggung jawab beliau. Akan tetapi, pernyataan-pernyataan
seperti yang terakhir ini merupakan semacam katup pengaman. Beliau tetap mesti
bersungguh-sungguh dalam melakukan perubahan, tetapi tidak sampai harus
menceburkan diri dalam kerusakan. Kesungguhan usaha sampai batas terakhir dari
segi kemampuan dan kesempatan merupakan pesan moral dari adanya dua jenis ayat
seperti itu.
Ayat- ayat tentang pendidikan:
Ayat yang
berhubungan tujuan hidup dan sekaligus menjadi tujuan pendidikan adalah surat
al-baqarah (2) ayat 30-31 dan ayat
4-6 pada surat at-tiin. Dari
ayat tersebut dapat
diketahui bahwa tujuan hidup manusia diciptakan adalah untuk menjadi khalifah
di muka bumi. Jika dikorelasikan dengan ayat at-tiin ayat 4-6, di dalam
menjalankan tugas kekhalifahannya di muka bumi, hal yang harus dilakukan
sebagai upaya untuk menghindarkan manusia dari derajat yang rendah (asfala
safiliin) maka harus memilki keimanan dan beramal shaleh. (alladziina
amanuu wa ‘amisshalihhat).
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Jadi demikianlah pendidikan Islam dan misi profetik yang sedemikian
memberikan gambaran kepada kita akan entingnya keduanya sebagai dua mediasi
dalam satu ideologis untuk mencapai tujuan, yaitu akhlaqul kariimah .
Beberapa gambaran diatas tentunya belumlah cukup untuk memuaskan rasa
keinginan tahuan kita dan belumlah menjadi konsep yang matang. Apa bila dalam
penggalian wacananya hanya sampai di sini saja. Masih banyak lagi yang perlu
ditempuh.
DAFTAR PUSTAKA
Anshari, Endang Saefuddin, Pokok-Pokok Pikiran tentang Islam, Usaha
Enterprise, Jakarta: 1976
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi
Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos, Wacana Ilmu
__________ ,Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam,
Jakarta: Logos, Wacana Ilmu, 1998
Arifin, Muzayyin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2003
Destalyana. Pendidikan Profetik. http://destalyana.blogspot.com/2007/09/pendidikan-profetik.html di akses pada tanggal 21 September 2012.
Arifin, Muzayyin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2003
Destalyana. Pendidikan Profetik. http://destalyana.blogspot.com/2007/09/pendidikan-profetik.html di akses pada tanggal 21 September 2012.
0 comments:
Post a Comment