BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Hermeneutika
Hermeneutik berasal dari kata
yunani hermeneuein yang bermakna mengartikan, menafsirkan, menerjamahkan, dan
bertindak sebagai penafsir dalam rangka membedakan hermeneutika hermetik
.Sedangkan kata hermetik merupakan pandangan filsafat yang diasosiasikan pada
tulisan-tulisan hermetic suatu leteratur ilmiah di yunani yang berkembang pada
awal-awal abad setelah kristus. Tulisan ini disandarkan pada Hermes
Trismegistus.
Dan juga Hermeneutika secara umum dapat didefinisikan sebagai
teori atau filsafat tentang interpretasi makna. Kata hermeneutika itu sendiri
berasal dari kata kerja bahasa Yunani, hermeneuin, yang berarti menafsirkan.
Kata bendanya hermeneia. Akar kata itu dekat dengan nama dewa Yunani yakni Dewa
Hermes yang menjadi utusan atau pembawa pesan para dewa. Dewa Hermes berperan
mengubah apa yang di luar pengertian manusia ke dalam bentuk yang dimengerti
manusia. Peranan semacam itulah yang kurang lebih mau dilakukan oleh para ahli
tafsir Kitab Suci. Dalam The New Encyclopedia Britannica, dikatakan bahwa
Hermeneutika adalah studi tentang prinsip-prinsip umum dalam interpretasi Bible
(hermeneutics is the study of the general principal of biblical
interpretation). [1]
Tujuan dari hermeneutika
adalah untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bible. Dalam sejarah
interpretasi Bible, ada empat model utama interpretasi Bible, yaitu :
1. Literal
interpretation.
2. Moral
interpretation.
3. Allegorical
interpretation.
|
Dari model-model ini, yang
menjadi arus utama sejak awal sejarah Kristen adalah model literal (model
Antioch) dan model alegoris (model Alexandria). Keempat model interpretasi
Bible tersebut dipraktikkan sejak awal sejarah Kristen (abad ke-4 M), dengan tokohnya
Saint Jerome, hingga berakhirnya Abad Pertengahan (abad ke-16 M) dengan
tokohnya Marthin Luther.[2]
Akar kata hermeneutika
berasal dari istilah Yunani dari kata kerja hermēneuein (menafsirkan) atau kata
benda hermēneia
(interpretasi). Al-Farabi mengartikannya dengan lafal Arab al-‘ibāroh
(ungkapan). Kata Yunani hermeios mengacu kepada seorang
pendeta bijak Delphic. Kata hermeios dan kata kerja hermēneuien
dan kata benda hermēneia biasanya
dihubung-hubungkan dengan Dewa Hermes, dari situlah kata itu berasal. Hermes
diasosiasikan dengan fungsi transmisi apa yang ada di balik pemahaman manusia
ke dalam bentuk apa yang dapat ditangkap oleh intelegensia manusia. Kurang
lebih sama dengan Hermes, seperti itu pulalah karakter dari metode hermeneutika.
Dengan menelusuri akar kata paling awal dalam Yunani, orisinalitas kata modern
dari “hermeneutika” dan “hermeneutis” mengasumsikan proses “membawa sesuatu
untuk dipahami”, terutama seperti proses ini melibatkan bahasa, karena bahasa
merupakan mediasi paling sempurna dalam proses. Ada pula yang berpendapat bahwa
hermeneutika berarti suatu ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah
kata atau suatu kejadian pada waktu dan budaya yang lalu dapat dimengerti dan
menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi sekarang. Dengan kata lain,
hermeneutika merupakan teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan
interpretasi terhadap sebuah Teks. Dalam Webster’s Third New International Dictionary
dijelaskan definisinya, yaitu “studi tentang prinsip-prinsip metodologis
interpretasi dan eksplanasi; khususnya studi tentang prinsip-prinsip umum
interpretasi Bibel.” Setidaknya ada tiga bidang yang sering akrab dengan
term hermeneutika: teologi, filsafat, dan sastra.[3]
Persoalan utama hermeneutika
terletak pada pencarian makna teks, apakah makna obyektif atau makna subyektif.
Perbedaan penekanan pencarian makna pada ketiga unsur hermeneutika: penggagas,
teks dan pembaca, menjadi titik beda masing-masing hermeneutika. Titik beda itu
dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori hermeneutika: hermeneutika teoritis,
hermeneutika filosofis, dan hermeneutika kritis. Pertama,
hermeneutika teoritis. Bentuk hermeneutika seperti ini menitikberatkan
kajiannya pada problem “pemahaman”, yakni bagaimana memahami dengan benar.
Sedang makna yang menjadi tujuan pencarian dalam hermeneutika ini adalah makna
yang dikehendaki penggagas teks. Kedua,
hermeneutika filosofis. Problem utama hermeneutika ini bukanlah bagaimana
memahami teks dengan benar dan obyektif sebagaimana hermeneutika teoritis.
Problem utamannya adalah bagaimana “tindakan memahami” itu sendiri. Ketiga, hermeneutika kritis. Hermeneutika ini
bertujuan untuk mengungkap kepentingan di balik teks. hermeneutika kritis
menempatkan sesuatu yang berada di luar teks sebagai problem hermeneutiknya.[4]
B.
Sejarah Hermeneuitika
Hermeneutika tidak secara
tiba-tiba menjadi satu disiplin ilmu dalam khazanah filsafat, namun pada
awalnya ia hanya sebatas subdisiplin teologi yang sudah muncul sejak awal dalam
sejarah peradaban manusia yang mencakup kajian metodologis tentang autentitas
dan penafsiran teks. Namun dalam kurun berikutnya, Hermeneutika perkembang
menjadi kajian penafsiran secara menyeluruh dengan ruang lingkup yang lebih
luas. Ada mengungkapkan beberapa informasi historis yang akan menekankan pada
perkembangan Hermeneutika menjadi berbagai varian-varian prinsip dan
metodologis. Hal ini disebabkan oleh keadaran bahwa dalam wilayah filsafat
kontemporer yang terpecah-pecah, kita sedikit sekali dapat menemukan kesamaan
antara satu dengan lain, kecuali fakta bahwa kita benar-benar hidup pada
diskursus filosofis yang terpecah-pecah, yaitu diskursus yang bercirikan
interpretasi. Filsafat yang mencoba menghadapi situasi seperti ini bisa disebut
sebagai “Hermeneutika”.[5]
C.
Tokoh Hermeneutika
Terdapat sejumlah tokoh yang memberi sumbangan dalam perkembangan
filsafat hermeneutika, di antaranya adalah:
1.
Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher
(1768-1834).
Schleiermacher, seorang Protestan dan
pernah menjadi Rektor di Universitas Berlin pada tahun 1815-1816, digelar
sebagai “the founder of General Hermeneutics.” Gelar tersebut diberikan karena
pemikirannya dianggap telah memberi nuansa baru dalam teori penafsiran.33
Materi kuliahnya “universal hermeneutic” menjadi rujukan Gadamer dan berpangaruh
terhadap pemikiran Weber dan Dilthey. Ia dianggap sebagai filosof Jerman
pertama yang terus menerus memikirkan persoalan-persoalan hermeneutika. Karena
itu ia dianggap sebagai Bapak Hermeneutika modern dan juga pendiri Protestan
Liberal.34 Schleiemecher menandai lahirnya hermeneutika yang bukan lagi
terbatas kepada idiom filologi maupun eksegesis Bibel, melainkan
prinsip-prinsipnya bisa digunakan sebagai fondasi bagi semua ragam interpretasi
teks.[6]
2.
Wilhelm Dilthey (1833-1911)
Wilhelm adalah penulis biografi
Scleiermacher dan salah satu pemikir filsafat besar pada akhir abad ke-19. Dia
melihat hermeneutika adalah inti disiplin yang dapat digunakan sebagai pondasi
bagi geisteswissenschaften (yaitu, semua disiplin yang memfokuskan pada
pemahaman seni, aksi, dan tulisan manusia). Wilhelm Dilthey adalah seorang
filosof, kritikus sastra, dan sejarawan asal Jerman.[7]
Bagi filosof yang pakar metodologi
ilmu-ilmu sosial ini, hermeneutika adalah “tehnik memahami ekspresi tentang
kehidupan yang tersusun dalam bentuk tulisan”. Oleh karena itu ia menekankan
pada peristiwa dan karya-karya sejarah yang merupakan ekspresi dari pengalaman
hidup di masa lalu.[8]
3.
Martin Heidegger (1889-1976)
Latar belakang intelektualitas Heidegger
berada dibawah pengaruh fisika, metafisika dan etika Aristotle yang di
interpretasikan oleh Husserl dengan metode fenomenologinya. Pendiri
fenomenologi, Edmund Husserl, adalah guru dan sekaligus kawan yang paling
dihormati dan disegani oleh Heidegger. Pemikiran Heidegger sangat kental dengan
nuansa fenomenologis, meskipun akhirnya Heidegger mengambil jalan menikung dari
prinsip fenomenologi yang dibangun Husserl. Fenomenologi Husserl lebih bersifat
epistemologis karena menyangkut pengetahuan tentang dunia, sementara fenomenologi
Heidegger lebih sebagai ontologi karena menyangkut kenyataan itu sendiri.
Heidegger menekankan, bahwa fakta keberadaan merupakan persoalan yang lebih
fundamental ketimbang kesadaran dan pengetahuan manusia, sementara Husserl
cenderung memandang fakta keberadaan sebagai sebuah datum keberadaan. Heidegger
tidak memenjara realitas dalam kesadaran subjektif, melainkan pada akhirnya
realitas sendiri yang menelanjangi dirinya di hadapan subjek. Bagi Heidegger,
realitas tidak mungkin dipaksa untuk menyingkapkan diri. Realitas, mau tidak
mau, harus ditunggu agar ia menyingkapkan diri.[9]
Heidegger mengembangkan hermeneutika
sebagai interpretasi yang berdimensi ontologis. Dalam pandangan Heidegger,
pemahaman (verstehen) bukanlah sebuah metode. Menurutnya pemahaman lebih dari
sekedar metode. Sebabnya pemahaman telah wujud terlebih dahulu (pre-reflective
understanding) sebelum merefleksikan sesuatu. Heidegger menamakan pra-pemahaman
tersebut sebagai Dasein, yang secara harfiah berarti disana-wujud.[10]
Apa yang ditulis Heidegger sebagai
hermeneutika tidak bisa dipahami dalam pengertian pemahaman yang subjektif.
Hermeneutika juga bukan hanya sebuah metode pengungkapan realitas. Hermeneutika
adalah hakikat keberadaan manusia yang menyingkap selubung Ada (Sain).
Hermeneutika Heidegger telah mengubah konteks dan konsepsi lama tentang hermeneutika yang berpusat pada analisa filologi interpretasi teks. Heidegger tidak berbicara pada skema subjek-objek, klaim objektivitas, melainkan melampaui itu semua dengan mengangkat hermeneutika pada tataran ontologis.[11]
Hermeneutika Heidegger telah mengubah konteks dan konsepsi lama tentang hermeneutika yang berpusat pada analisa filologi interpretasi teks. Heidegger tidak berbicara pada skema subjek-objek, klaim objektivitas, melainkan melampaui itu semua dengan mengangkat hermeneutika pada tataran ontologis.[11]
4.
Hans-Georg Gadamer (1900-1998)
Gadamer menegaskan bahwa pemahaman adalah
persoalan ontologis. Ia tidak menganggap hermeneutika sebagai metode, sebab
baginya pemahaman yang benar adalah pemahaman yang mengarah pada tingkat
ontologis bukan metodologis. Artinya kebenaran dapat dicapai bukan melalui
metode tapi melalui dialektika, dimana lebih banyak pertanyaan dapat diajukan.
Dan ini disebut filsafat praktis. Gadamer melontarkan konsep “pengalaman”
historis dan dialektis, di mana pengetahuan bukan merupakan bias persepsi
semata tetapi merupakan kejadian, peristiwa, perjumpaan. Gadamer menegaskan
makna bukanlah dihasilkan oleh interioritas individu tetapi dari
wawasan-wawasan sejarah yang saling terkait yang mengkondisikan pengalaman
individu. [12]
Gadamer mempertahankan dimensi sejarah
hidup pembaca.
Filsafat hermeneutika Gadamer meniscayakan wujud kita berpijak pada asas hermeneutis, dan hermeneutika berpijak pada asas eksistensial manusia. Ia menolak segala bentuk kepastian dan meneruskan eksistensialisme Heidegger dengan titik tekan logika dialektik antara aku (pembaca) dan teks/karya. Dialektika itu mesti difahami secara eksistensialis, karena hakikatnya memahami teks itu sama dengan pemahaman kita atas diri dan wujud kita sendiri.[13]
Filsafat hermeneutika Gadamer meniscayakan wujud kita berpijak pada asas hermeneutis, dan hermeneutika berpijak pada asas eksistensial manusia. Ia menolak segala bentuk kepastian dan meneruskan eksistensialisme Heidegger dengan titik tekan logika dialektik antara aku (pembaca) dan teks/karya. Dialektika itu mesti difahami secara eksistensialis, karena hakikatnya memahami teks itu sama dengan pemahaman kita atas diri dan wujud kita sendiri.[13]
5. Jurgen
Habermas (1929)
Habermas sebagai penggagas hermeneutika
kritis menempatkan sesuatu yang berada di luar teks sebagai problem
hermeneutiknya. Sesuatu yang dimaksud adalah dimensi ideologis penafsir dan
teks, sehingga dia mengandaikan teks bukan sebagai medium pemahaman, melainkan
sebagai medium dominasi dan kekuasaan. Di dalam teks tersimpan kepentingan
pengguna teks. Karena itu, selain horizon penafsir, teks harus ditempatkan dalam
ranah yang harus dicurigai. Menurut Habermas, teks bukanlah media netral,
melainkan media dominasi. Karena itu, ia harus selalu dicurigai.[14]
Bagi Habermas pemahaman didahului oleh
kepentingan. Yang menentukan horizon pemahaman adalah kepentingan sosial
(social interest) yang melibatkan kepentingan kekuasaan (power interest) sang
interpereter.[15]
6. Paul Richour
(1913-2005)
Paul Richour mendefinisikan hermeneutika
yang mengacu balik pada fokus eksegesis tekstual sebagai elemen distingtif dan
sentral dalam hermeneutika. Hermeneutika adalah proses penguraian yang beranjak
dari isi dan makna yang nampak ke arah makna terpendam dan tersembunyi. Objek
interpretasi, yaitu teks dalam pengertian yang luas, bisa berupa simbol dalam
mimpi atau bahkan mitos-mitos dari simbol dalam masyarakat atau sastra. Hermeneutika
harus terkait dengan teks simbolik yang memiliki multi makna (multiple
meaning); ia dapat membentuk kesatuan semantik yang memiliki makna permukaan
yang betul-betul koheren dan sekaligus mempunyai signifikansi lebih dalam.
Hermeneutika adalah sistem di mana signifikansi mendalam diketahui di bawah
kandungan yang nampak.[16]
Konsep yang utama dalam pandangan Ricoeur
adalah bahwa begitu makna obyektif diekspresikan dari niat subyektif sang
pengarang, maka berbagai interpretasi yang dapat diterima menjadi mungkin.
Makna tidak diambil hanya menurut pandangan hidup (worldview) pengarang, tapi
juga menurut pengertian pandangan hidup pembacanya. Sederhananya, hermeneutika
adalah ilmu penafsiran teks atau teori tafsir.[17]
7. Muhammed
Arkoun
Setelah membahas pemikiran tokoh-tokoh di
atas, ada baiknya untuk membahas pemikiran Muhammed Arkoun yang telah
mengadopsi teori-teori hermeneutika ketika menafsirkan Alquran. Muhammad Arkoun
adalah pemikir reformatif-dekonstruktif sekaligus intelektual wilayah ‘tak
terpikirkan’ (al-la mufakkar fih/L’impensê/unthikable) yang lahir pada 1
Februari 1928 di Tourirt-Mimoun, Kabilia, Aljazair. Sejak tahun 1961 Arkoun
diangkat menjadi dosen di Universitas Sorbone Paris. Corak konstruksi pemikiran
epistemik Arkoun sangat terlihat dipengaruhi oleh post-strukturalis Perancis.
Metode historisisme yang dijadikan pisau bedah analisis Arkoun adalah formulasi
ilmu-ilmu sosial Barat modern hasil ciptaan para pemikir post-strukturalis
Perancis.[18]
Kritik epistemik nalar Islam dan analisis
dekonstruktif merupakan harga mati bagi Akoun guna mencapai kebangkitan kembali
peradaban Islam yang sampai kini masih terkapar dalam hegemoni ortodoksi dan
dogmatisme. Kerja ilmiah ini digarap oleh Arkoun dengan cara mengkritik secara
dekonstruktif terhadap mekanisme-mekanisme berpikir konvensional yang telah
memproduk sistem-sistem teologis dan keyakinan-keyakinan yang amat varian dan,
sebagai langkah kedua, kemudian merekonstruksi pondasi-pondasi epistemiknya.[19]
Muhammed Arkoun berpendapat bahwa Mushaf
Utsmani tidak lain hanyalah hasil sosial dan budaya masyarakat yang dijadikan
“tak terfikirkan” disebabkan semata-mata kekuatan dan pemaksaan penguasa resmi.
Ia mengusulkan supaya membudayakan pemikiran liberal (free thinking). Ia
mencapai pemikiran liberal dengan dekonstruksi. Baginya, dekonstruksi adalah
sebuah ijtihad yang akan memperkaya sejarah pemikiran dan memberikan sebuah
pemahaman yang lebih baik tentang Alquran. Jika masalah-masalah yang selama ini
ditabukan dan dilarang dan semua itu diklaim sebagai sebuah kebenaran, jika
didekonstruksi, maka semua diskursus tadi akan menjadi diskursus terbuka.
Menurutnya pendekatan historitas, meskipun berasal dari Barat, tidak hanya sesuai untuk warisan budaya Barat saja.Tetapi pendekatan tersebut dapat diterapkan pada semua sejarah umat manusia dan bahkan tidak ada jalan lain dalam menafsirkan wahyu kecuali menghubungkannya dengan konteks historis, yang akan menantang segala bentuk pensaklaran dan penafsiran transenden yang dibuat teolog tradisional. Arkoun dalam mengkaji studi ke-Islaman menaruh perhatian yang sangat tinggi pada teori Hermeneutika.[20]
Menurutnya pendekatan historitas, meskipun berasal dari Barat, tidak hanya sesuai untuk warisan budaya Barat saja.Tetapi pendekatan tersebut dapat diterapkan pada semua sejarah umat manusia dan bahkan tidak ada jalan lain dalam menafsirkan wahyu kecuali menghubungkannya dengan konteks historis, yang akan menantang segala bentuk pensaklaran dan penafsiran transenden yang dibuat teolog tradisional. Arkoun dalam mengkaji studi ke-Islaman menaruh perhatian yang sangat tinggi pada teori Hermeneutika.[20]
D.
Pengertian
Teori Kritis
Teori kritis adalah sebutan untuk orientasi teoritis tertentu yang
bersumber dari Hegel dan Marx, disistematisasi oleh Horkheimer dan sejawatnya
di Institut Penelitian Sosial di Frankfurt, dan dikembangkan oleh Habermas.
Secara umum istilah ini merujuk pada elemen kritik dalam filsafat Jerman yang
dimulai dengan pembacaan kritis Hegel terhadap Kant. Secara lebih khusus, teori
kritis terkait dengan orientasi tertentu terhadap filsafat yang ”dilahirkan” di
Frankfurt. Istilah teori kritis pertama kali ditemukan Max Horkheimer pada
tahun 30-an. Pada mulanya teori kritis berarti pemaknaan kembali ideal-ideal
modernitas tentang nalar dan kebebasan, dengan mengungkap deviasi dari
ideal-ideal itu dalam bentuk saintisme, kapitalisme, industri kebudayaan, dan
institusi politik borjuis.
Untuk memahami pendekatan teori kritis, ia harus ditempatkan dalam konteks Idealisme Jerman dan kelanjutannya. Karl Marx dan generasinya menganggap Hegel sebagai orang terakhir dalam tradisi besar pemikiran filosofis yang mampu ”mengamankan” pengetahuan tentang manusia dan sejarah. Namun, karena beberapa hal, pemikiran Marx mampu menggantikan filsafat teoritis Hegel, yang hal ini, menurut Marx, terjadi dengan membuat filsafat sebagai hal yang praktis; yakni merubah praktik-praktik yang dengannya masyarakat mewujudkan idealnya. Dengan menjadikan nalar sebagai sesuatu yang ’sosial’ dan menyejarah, skeptisisme historis akan muncul untuk merelatifkan klaim-klaim filosofis tentang norma dan nalar menjadi ragam sejarah dan budaya forma-forma kehidupan.
Teori kritis menolak skeptisisme diatas dengan tetap memertahankan kaitan antara nalar dan kehidupan sosial. Dengan demikian, teori kritis menghubungkan ilmu-ilmu sosial yang bersifat empiris dan interpretatif dengan klaim-klaim normatif tentang kebenaran, moralitas, dan keadilan yang secara tradisional merupakan bahasan filsafat. Dengan tetap memertahankan penekanan terhadap normativitas dalam tradisi filsafat, teori kritis mendasarkan cara bacanya dalam konteks jenis penelitian sosial empiris tertentu, yang digunakan untuk memahami klaim normatif itu dalam konteks kekinian.[21]
Untuk memahami pendekatan teori kritis, ia harus ditempatkan dalam konteks Idealisme Jerman dan kelanjutannya. Karl Marx dan generasinya menganggap Hegel sebagai orang terakhir dalam tradisi besar pemikiran filosofis yang mampu ”mengamankan” pengetahuan tentang manusia dan sejarah. Namun, karena beberapa hal, pemikiran Marx mampu menggantikan filsafat teoritis Hegel, yang hal ini, menurut Marx, terjadi dengan membuat filsafat sebagai hal yang praktis; yakni merubah praktik-praktik yang dengannya masyarakat mewujudkan idealnya. Dengan menjadikan nalar sebagai sesuatu yang ’sosial’ dan menyejarah, skeptisisme historis akan muncul untuk merelatifkan klaim-klaim filosofis tentang norma dan nalar menjadi ragam sejarah dan budaya forma-forma kehidupan.
Teori kritis menolak skeptisisme diatas dengan tetap memertahankan kaitan antara nalar dan kehidupan sosial. Dengan demikian, teori kritis menghubungkan ilmu-ilmu sosial yang bersifat empiris dan interpretatif dengan klaim-klaim normatif tentang kebenaran, moralitas, dan keadilan yang secara tradisional merupakan bahasan filsafat. Dengan tetap memertahankan penekanan terhadap normativitas dalam tradisi filsafat, teori kritis mendasarkan cara bacanya dalam konteks jenis penelitian sosial empiris tertentu, yang digunakan untuk memahami klaim normatif itu dalam konteks kekinian.[21]
Di zaman modern, filsafat secara ketat dibedakan dari sains. Locke
menyebut filsafat sebagai ’pekerja kasar’. Bagi Kant, filsafat, khususnya
filsafat transenden, memiliki dua peran. Pertama, sebagai ”hakim” yang
dengannya sains dinilai. Kedua, sebagai wilayah untuk memunculkan pertanyaan
normatif. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan normatif, dalam perspektif
Kantian, sains tidak dibutuhkan, karena hal itu dijawab melalui analisis
transenden. Teori kritis yang berorientasi emansipasi berusaha
mengkontekstualisasi klaim-klaim filosofis tentang kebenaran dan universalitas
moral tanpa mereduksinya menjadi sekedar kondisi sosial yang menyejarah. Teori
kritis berusaha menghindari hilangnya kebenaran yang telah dicapai oleh
pengetahuan masa lalu. Tentang hal ini Horkheimer menyatakan ”Bahwa semua
pemikiran, benar atau salah, tergantung pada keadaan yang berubah sama sekali
tidak berpengaruh pada validitas sains”.
Teori kritis memungkinkan kita membaca produksi budaya dan komunikasi dalam perspektif yang luas dan beragam. Ia bertujuan untuk melakukan eksplorasi refleksif terhadap pengalaman yang kita alami dan cara kita mendefinisikan diri sendiri, budaya kita, dan dunia. Saat ini teori kritis menjadi salah satu alat epistemologis yang dibutuhkan dalam studi humaniora. Hal ini didorong oleh kesadaran bahwa makna bukanlah sesuatu yang alamiah dan langsung. Bahasa bukanlah media transparan yang dapat menyampaikan ide-ide tanpa distorsi, sebaliknya ia adalah seperangkat kesepakatan yang berpengaruh dan menentukan jenis-jenis ide dan pengalaman manusia.[22]
Teori kritis memungkinkan kita membaca produksi budaya dan komunikasi dalam perspektif yang luas dan beragam. Ia bertujuan untuk melakukan eksplorasi refleksif terhadap pengalaman yang kita alami dan cara kita mendefinisikan diri sendiri, budaya kita, dan dunia. Saat ini teori kritis menjadi salah satu alat epistemologis yang dibutuhkan dalam studi humaniora. Hal ini didorong oleh kesadaran bahwa makna bukanlah sesuatu yang alamiah dan langsung. Bahasa bukanlah media transparan yang dapat menyampaikan ide-ide tanpa distorsi, sebaliknya ia adalah seperangkat kesepakatan yang berpengaruh dan menentukan jenis-jenis ide dan pengalaman manusia.[22]
Dengan berusaha memahami proses dimana teks, objek, dan manusia
diasosiasikan dengan makna-makna tertentu, teori kritis memertanyakan
legitimasi anggapan umum tentang pengalaman, pengetahuan, dan kebenaran. Dalam
interaksi sehari-hari dengan orang lain dan alam, dalam kepala seseorang selalu
menyimpan seperangkat kepercayaan dan asumsi yang terbentuk dari
pengalaman—dalam arti luas—dan berpengaruh pada cara pandang seseorang, yang
sering tidak tampak. Teori kritis berusaha mengungkap dan memertanyakan asumsi
dan praduga itu. Dalam usahanya, teori kritis menggunakan ide-ide dari bidang
lain untuk memahami pola-pola dimana teks dan cara baca berinteraksi dengan
dunia. Hal ini mendorong munculnya model pembacaan baru. Karenanya, salah satu
ciri khas teori kritis adalah pembacaan kritis dari dari berbagai segi dan
luas. Teori kritis adalah perangkat nalar yang, jika diposisikan dengan tepat
dalam sejarah, mampu merubah dunia. Pemikiran ini dapat dilacak dalam tesis
Marx terkenal yang menyatakan ”Filosof selalu menafsirkan dunia, tujuannya
untuk merubahnya”. Ide ini berasal dari Hegel yang, dalam Phenomenology of
Spirit, mengembangkan konsep tentang objek bergerak yang, melalui proses
refleksi-diri, mengetahui dirinya pada tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Hegel
menggabungkan filsafat tindakan dengan filsafat refleksi sedemikian rupa
sehingga aktivitas atau tindakan menjadi momen niscaya dalam proses refleksi.
Hal ini memunculkan diskursus dalam filsafat Jerman tentang hubungan antara
teori dan praktis, yakni bahwa aktivitas praktis manusia dapat merubah teori.
Teori kritis, dengan demikian, adalah pembacaan filosofis—dalam arti
tradisional—yang disertai kesadaran terhadap pengaruh yang mungkin ada dalam
bangunan ilmu, termasuk didalamnya pengaruh kepentingan.[23]
E.
Kekhasan Teori Krotis
Yang merupakan ciri khas
Teori Kritis adalah bahwa teori itu berbeda dengan pemikiran falsafi yang
tradisional (dari hegel dan Husserl sampai ke Heidegger) tidak bersifat
konteplatif saja, dan tidak dimaksud untuk menjadi lamunan beberapa filsuf jauh
dari hidup masyarakat yang nyata. Melainkan Teori Kritis memandang diri sebagai
pewaris cita-cita Karl Marx, sebagai teori yang menjadi emansipatoris: teori
itu mau mengembalikan kemerdekaan dan masa depan manusia. Teori Kritis tidak hanya
mau menjelaskan, mempertimbangkan, meefleksikan, mengkategorikan dan menata,
melainkan ia mau mengubah. Yang mau diubah bukan filsafat, melainkan
pemberangusan manusia oleh hasil pekerjaannya sendiri. Teori kritis mau menjadi
praktis.[24]
Teori kritis mangadakan analisis baru terhadap masyarakat yang
dipahami sebagai “masyarakat kapitalis tua”. Ketajaman analisa itu diakui juga
oleh banyak pihak yang berbeda pandangan nya. Yang dihangatkan kembali dalam
Teori Kritis bukanlah Teori Marx yang usang, melainkan maksud dasar Marx, yaitu
pembebasan manusia dari segala belenggu pengisapan dan penindasan.[25]
F.
Kemacetan Teori kritis
Salah satu penyebab
kemacetannya adalah bahwa Teori Kritis terlalu terkesan oleh daya integratif
sistim masyarakat kapitalisme tua. Dalam kenyataan kaum buruh belum tentu
selalu dapat dipenuhi. Gejala kemikinan baru, masalah energi dan lingkungan
hidup menunjukkan bahwa the affluent socity di Baratpun belum seluruhnya
tercapai.[26]
Teori Kritis gagal bukan hanya karena perkambangan ekonomi dunia
berbeda dari pengandaiannya. Melainkan karena mereka tetap bertolak dari
pengandaian-pengandaian filsofis Karl Marx. Dengan demikian Teori Kritis sudah
menanamkan kegagalan kedalam pengandaian-pengandaiannya sendiri.[27]
Titik tolak Teori Kritis adalah manusia sebagai makhluk yang
berkabutuhan. Tetapi apakah deskripsi yang mereka ambil begitu saja dari Karl
Marx itumemadai? Bukankah kebutuhan itu hanya salah satu unsur dalam identitas
manusia, bukan sesuatu yang sudah jadi, melainkan yang ditentukan oleh kebiasaan
lingkungan, oleh penilaian-penilaian kita sendiri, oleh cara kita memandang
hidup kita. Suatu makhluk yang seluruhnya ditentukan oleh kebutuhannya memang
dapat seluruhnya dimanipulasikan. Tetapi apabila kebutuhan manusia sendiri
tidak lepas dari penilaian-penilainny, suatu manipulasi yang total tidak
mungkin. Pesimisme totao Teori Kritia adala akibat kesempitan pahamnya tentang
manusia.[28]
Begitu juga, secara kritis Teori Kritis menarima dari Marx bahwa
anusia itu makhluk yang bekerja. Dan karena bekerja selalu berarti menguasai,
maka pekerjaan untuk pembebasan itu selalu akan menghasilkan perbudakan baru.
Namun, sebagaimana antara lain diperlihatkan oleh jurgen habermas, pekerjaan
itu hanya satu tindakan dasar manusia saja. Pekerjaan adalah usaha manusia
untuk menyesuaikan alam dengan kebutuhan-kebutuhannya. Disamping pekerjaan
masih terdapat tindakan yang sama dasariah, yaitu interaksi atau komunikasi
antar manusia. Kekeliruan fatal teori kritis dalah bahwa sama denga Karl Marx,
komunikasi dipahami melalui model pekerjaan. Sehingga komunikasi mesti berupa
usaha untuk saling menguasai. Sedangkan komunikasi yang baik dengan sendirinya
mengandaikan kebebasan. Kebebasan itu mesti hilang apabila hubungan antar
manusia dipahami menurut cara manusia berhubungan dengan alam. Karena
pengnadaian-pengandaian antropologis yang sungguh-sungguh melest itulah maka
Marx membuat manusia sama sekali ditentukan oleh faktor-faktor ekonomis dan
Horkeimer mengartikan segala macam manipulasi, penindasan dan pengisapan yang memang
berlimpah-limpah itu sebagai suatu sistem manipulasi yang total yang tidak
dapat diobrak.[29]
Bahwa penindasan kebebasan
tak dapat bersifat total ditunjukkan oleh jurgen Habermas. Menurut dia, masih
ada tempat dimana manusia dapat mengalami ide kebebasan, sehingga selalu masih
ada tempat berpijak untuk menentang penindasan (tempat itulah yang tidak
diketemukan oleh horkheimer dan Adorno, dan karena itu mareka menyerah). Tempat
itudala faktor adanya komunikasi. Habermas memperlihatkan bahwa komunikasi tidak
mungkin tanpa adanya kebebasan. Kita dapat saja dipaksa atau didesak untuk
mengrti. Menangkap maksud orang lain pun tidakpernah dapat dipaksakan. Begitu
pula orang tidak bisa dipaksa menyadari suatu kebeneran, untuk menyetujui suatu
pendapat dalm hati, atau untuk mencintai seseorang. Dalam pengalaman komunikasi
sudah tertanam pengalaman kebebasan. Dan masih banyak lagi faktor penyebab
kemacetan Teori Kritis.[30]
G.
Tokoh Teori Kritis
Teori kritis adalah anak dari aliran besar filsafat berinspirasi
Karl Marx yang paling jauh meninggalkan Marx. Mereka juga disebut Aliran
Frankfurt (Frankfurter Schule) kerena mereka semula bertumbuh pada “Institut
fur Sozialforschung di frankfurt/Main di Jerman”.[31]
Dua tokoh utama Teoro Kritis dalah Max Horkheimer (1895-1973) dan Theodor
Wiesengrund Ardono (1903-1969). tokoh ketiga yang lebih berjalan sendiri tetapi
barangkali paling terkenal adalah herbert Marcuse (1898-1979). namun semula
aliran ini membutuhkan waktu yang lama sekali sampai berhasil menarik perhatian
para kalangan filsafat umum. Walaupun beberapa tulisa berbobot sudah terbit
dalam tahun 30-an, namun dalam kebanyakan kamus filsafat, sampai tahun ke-60an,
nama-nama tokoh itu percuma kita cari.[32]
Teori kritis baru betul-betul menjadi bahan diskusi dikalangan
filsafat dan sosiologi pada tahun 1961. pada tahun ini Deutsche Gesellschaft
fur Soziologia mangadakan pertemuan dimana terjadi konfrontasi antara Ardono
dabn Karl Popper. Konfrontasi itu kemudian masih dilanjutakan oleh Hans Albert
di pihak Popper dan Jurgen dipihak Ardono. Konfrontasi itu masuk kedalam
sejarah filsafat dijerman sebagai perdebatan positivisme dalam sosiologo Jerman
yang untuk satu dasawarsa lebih menghidupkan panggung filsafat-filsafat di
unuversitas-universitas Jerman. Baru Jurgen Hebermas, murid ardono di
frankfurt, berhasil mengitegrasikan tuntutan keras metode-metode analitis
kedalam pemkiran dialektis Teori Kritis.[33]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Pengertian Hermeneutika
Hermeneutik
berasal dari kata yunani hermeneuein yang bermakna mengartikan, menafsirkan,
menerjamahkan, dan bertindak sebagai penafsir dalam rangka membedakan
hermeneutika hermetik .Sedangkan kata hermetik merupakan pandangan filsafat
yang diasosiasikan pada tulisan-tulisan hermetic suatu leteratur ilmiah di yunani
yang berkembang pada awal-awal abad setelah kristus.
2.
Sejarah
Hermeneuitika
Pada awalnya ia hanya sebatas subdisiplin teologi yang sudah muncul
sejak awal dalam sejarah peradaban manusia yang mencakup kajian metodologis
tentang autentitas dan penafsiran teks. Namun dalam kurun berikutnya,
Hermeneutika perkembang menjadi kajian penafsiran secara menyeluruh dengan
ruang lingkup yang lebih luas.
3.
Tokoh
Hermeneutika
a.
Friedrich Daniel Ernst
Schleiermacher (1768-1834).
b.
Wilhelm Dilthey (1833-1911)
c.
Martin Heidegger (1889-1976)
d.
Hans-Georg Gadamer (1900-1998)
e.
Jurgen Habermas
f.
Paul Richour (1913-2005)
g.
Muhammed Arkoun
4.
Pengertian Teori Kritis
|
5.
Kekhasan
Teori Krotis
Yang
merupakan ciri khas Teori Kritis adalah bahwa teori itu berbeda dengan
pemikiran falsafi yang tradisional (dari hegel dan Husserl sampai ke Heidegger)
tidak bersifat konteplatif saja, dan tidak dimaksud untuk menjadi lamunan
beberapa filsuf jauh dari hidup masyarakat yang nyata. Melainkan Teori Kritis
memandang diri sebagai pewaris cita-cita Karl Marx, sebagai teori yang menjadi
emansipatoris.
6.
Kemacetan
Teori kritis
Salah
satu penyebab kemacetannya adalah bahwa Teori Kritis terlalu terkesan oleh daya
integratif sistim masyarakat kapitalisme tua. Dalam kenyataan kaum buruh belum
tentu selalu dapat dipenuhi. Gejala kemikinan baru, masalah energi dan
lingkungan hidup menunjukkan bahwa the affluent socity di Baratpun belum
seluruhnya tercapai.
7.
Tokoh
Teori Kritis
a.
Max
Horkheimer (1895-1973)
b.
Theodor
Wiesengrund Ardono (1903-1969)
c.
Herbert
Marcuse (1898-1979).
|
… 2010.
Hermeneutika. http://id.shvoong.com.
Artikel diakses pada 23 mei 2012
… Sejarah dan
Perkembangan Hermeneutika. http://abdurrahmanbinsaid.wordpress.com. artikel
diakses pada 23 mei 2012 .
…Teori Kritis,
Adorno, dan Habermas. http://robbani.wordpress.com. Artikel diakses pada
21 mei 2012
artikel diakses pada 22 mei
2012
Bleicher,
Joseph. 1980. Contemporary Hermeneutics. London : Routledge and Kegan Paul.
Kanisus. 1998.
Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: kanisus.
|
Segala puji penulis panjatkan kehadirat Illahi Rabbi, atas segala limpahan rahmat dan
karunia-Nya. Karena-Nyalah kita dapat merasakan kenikmatan yang besar yang tidak dapat diukur oleh apapun. Dan karena itu pula penulis
dapat menyelesaikan karya tulis ini dengan judul ”Hermeneutika dan Teori
Kritis” walaupun belum begitu maksimal.
Makalah ini penulis buat dalam rangka penyelesaian tugas Filsafat ilmu. Penulis
berharap semoga karya tulis ini dapat bermanfaat, terutama bagi dunia
pendidikan di lingkungan IAIN SUNAN AMPEL SURABAYA.
Akhinya tak lupa penulis mengucapkan banyak terima kasih atas segala
bantuan dan dorongan dari dosen pembimbing dan semua pihak. Semoga makalah ini
dapat memberikan sumbangan yang positif bagi kita semua, khususnya bagi penulis
dan umumnya bagi pembaca. Kami menyadari tidak ada sesuatu yang sempurna di
dunia ini. kami berharap kritik dan saran yang membangun dari segenap pembaca.
Surabaya, 27 Mei 2012
Penyusun
|
|
Halaman
Judul.............................................................................................................. i
Kata
Pengantar............................................................................................................ ii
Daftar
Isi..................................................................................................................... iii
BAB
I Pendahuluan
A.
Latar Belakang................................................................................................ 1
B. Tujuan...................................................................................................... ....... 1
BAB
II Pembahasan
A. Pengertian Hermeneutika........................................................................ ....... 2
B.
Sejarah Hermeneutika.............................................................................. ....... 4
C.Tokoh Hermeneutika........................................................................................ 5
D.Pengertian
Teori Kritis................................................................................... 11
E.Kekhasan
Teori Kritis..................................................................................... 14
F.
Kemacetan Teori Kritis.................................................................................. 14
G.
Tokoh Teori Kritis......................................................................................... 16
BAB III Penutup
A.
Kesimpulan.............................................................................................. ..... 18
Daftar
Pustaka
|
[1] Joseph Bleicher, Contemporary Hermeneutics,(London :
Routledge and Kegan Paul, 1980), hal. 12
[2]…,”hermeneutika”, artikel diakses pada 23 mei 2012dari
http://id.shvoong.com
[3] Syekhuddin,” Filsafat Hermeneutika”,
artikel diakses pada 22 mei 2012 dari http://jaringskripsi.wordpress.com.
[4] Ibid,.
[5]…,”sejarah dan perkembangan hermeneutika” artikel diakses pada 23
mei 2012 dari http://abdurrahmanbinsaid.wordpress.com
[21] …,” Teori Kritis,
Adorno, dan Habermas”artikel diakses pada 21 mei 2012 dari
http://robbani.wordpress.com
[23] Ibid,.
[24] Kanisus, filsafat sebagai ilmu kritis, (Yogyakarta:
kanisus,1998),. h. 162
[25] Ibid,. h. 162-163
[26] Ibid,. h. 170
[27] Ibid,. h. 170
[28] Ibid,. h. 170
[29] Ibid,. h. 170-171
[30] Ibid,. h. 171
[31] Ibid,. h. 160
[32] Ibid,. h. 160-161.
[33] Ibid,. h. 161
0 comments:
Post a Comment