' Nuqy Nuqy: makalah filsafat

Monday, April 22, 2013

makalah filsafat


BAB II

                        PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hermeneutika
Hermeneutik berasal dari kata yunani hermeneuein yang bermakna mengartikan, menafsirkan, menerjamahkan, dan bertindak sebagai penafsir dalam rangka membedakan hermeneutika hermetik .Sedangkan kata hermetik merupakan pandangan filsafat yang diasosiasikan pada tulisan-tulisan hermetic suatu leteratur ilmiah di yunani yang berkembang pada awal-awal abad setelah kristus. Tulisan ini disandarkan pada Hermes Trismegistus.
Dan juga Hermeneutika secara umum dapat didefinisikan sebagai teori atau filsafat tentang interpretasi makna. Kata hermeneutika itu sendiri berasal dari kata kerja bahasa Yunani, hermeneuin, yang berarti menafsirkan. Kata bendanya hermeneia. Akar kata itu dekat dengan nama dewa Yunani yakni Dewa Hermes yang menjadi utusan atau pembawa pesan para dewa. Dewa Hermes berperan mengubah apa yang di luar pengertian manusia ke dalam bentuk yang dimengerti manusia. Peranan semacam itulah yang kurang lebih mau dilakukan oleh para ahli tafsir Kitab Suci. Dalam The New Encyclopedia Britannica, dikatakan bahwa Hermeneutika adalah studi tentang prinsip-prinsip umum dalam interpretasi Bible (hermeneutics is the study of the general principal of biblical interpretation). [1]
Tujuan dari hermeneutika adalah untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bible. Dalam sejarah interpretasi Bible, ada empat model utama interpretasi Bible, yaitu :
1. Literal interpretation.
2. Moral interpretation.
3. Allegorical interpretation.
2
 
4. Anagogical interpretation.
Dari model-model ini, yang menjadi arus utama sejak awal sejarah Kristen adalah model literal (model Antioch) dan model alegoris (model Alexandria). Keempat model interpretasi Bible tersebut dipraktikkan sejak awal sejarah Kristen (abad ke-4 M), dengan tokohnya Saint Jerome, hingga berakhirnya Abad Pertengahan (abad ke-16 M) dengan tokohnya Marthin Luther.[2]
Akar kata hermeneutika berasal dari istilah Yunani dari kata kerja hermēneuein (menafsirkan) atau kata benda hermēneia (interpretasi). Al-Farabi mengartikannya dengan lafal Arab al-‘ibāroh (ungkapan). Kata Yunani hermeios mengacu kepada seorang pendeta bijak Delphic. Kata hermeios dan kata kerja hermēneuien dan kata benda hermēneia biasanya dihubung-hubungkan dengan Dewa Hermes, dari situlah kata itu berasal. Hermes diasosiasikan dengan fungsi transmisi apa yang ada di balik pemahaman manusia ke dalam bentuk apa yang dapat ditangkap oleh intelegensia manusia. Kurang lebih sama dengan Hermes, seperti itu pulalah karakter dari metode hermeneutika. Dengan menelusuri akar kata paling awal dalam Yunani, orisinalitas kata modern dari “hermeneutika” dan “hermeneutis” mengasumsikan proses “membawa sesuatu untuk dipahami”, terutama seperti proses ini melibatkan bahasa, karena bahasa merupakan mediasi paling sempurna dalam proses. Ada pula yang berpendapat bahwa hermeneutika berarti suatu ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah kata atau suatu kejadian pada waktu dan budaya yang lalu dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi sekarang. Dengan kata lain, hermeneutika merupakan teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap sebuah Teks. Dalam Webster’s Third New International Dictionary dijelaskan definisinya, yaitu “studi tentang prinsip-prinsip metodologis interpretasi dan eksplanasi; khususnya studi tentang prinsip-prinsip umum interpretasi Bibel.”  Setidaknya ada tiga bidang yang sering akrab dengan term hermeneutika: teologi, filsafat, dan sastra.[3]
Persoalan utama hermeneutika terletak pada pencarian makna teks, apakah makna obyektif atau makna subyektif. Perbedaan penekanan pencarian makna pada ketiga unsur hermeneutika: penggagas, teks dan pembaca, menjadi titik beda masing-masing hermeneutika. Titik beda itu dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori hermeneutika: hermeneutika teoritis, hermeneutika filosofis, dan hermeneutika kritis. Pertama, hermeneutika teoritis. Bentuk hermeneutika seperti ini menitikberatkan kajiannya pada problem “pemahaman”, yakni bagaimana memahami dengan benar. Sedang makna yang menjadi tujuan pencarian dalam hermeneutika ini adalah makna yang dikehendaki penggagas teks. Kedua, hermeneutika filosofis. Problem utama hermeneutika ini bukanlah bagaimana memahami teks dengan benar dan obyektif sebagaimana hermeneutika teoritis. Problem utamannya adalah bagaimana “tindakan memahami” itu sendiri. Ketiga, hermeneutika kritis. Hermeneutika ini bertujuan untuk mengungkap kepentingan di balik teks. hermeneutika kritis menempatkan sesuatu yang berada di luar teks sebagai problem hermeneutiknya.[4]

B.     Sejarah Hermeneuitika
Hermeneutika tidak secara tiba-tiba menjadi satu disiplin ilmu dalam khazanah filsafat, namun pada awalnya ia hanya sebatas subdisiplin teologi yang sudah muncul sejak awal dalam sejarah peradaban manusia yang mencakup kajian metodologis tentang autentitas dan penafsiran teks. Namun dalam kurun berikutnya, Hermeneutika perkembang menjadi kajian penafsiran secara menyeluruh dengan ruang lingkup yang lebih luas. Ada mengungkapkan beberapa informasi historis yang akan menekankan pada perkembangan Hermeneutika menjadi berbagai varian-varian prinsip dan metodologis. Hal ini disebabkan oleh keadaran bahwa dalam wilayah filsafat kontemporer yang terpecah-pecah, kita sedikit sekali dapat menemukan kesamaan antara satu dengan lain, kecuali fakta bahwa kita benar-benar hidup pada diskursus filosofis yang terpecah-pecah, yaitu diskursus yang bercirikan interpretasi. Filsafat yang mencoba menghadapi situasi seperti ini bisa disebut sebagai “Hermeneutika”.[5]

C.    Tokoh Hermeneutika
Terdapat sejumlah tokoh yang memberi sumbangan dalam perkembangan filsafat hermeneutika, di antaranya adalah:
1.          Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher (1768-1834).
      Schleiermacher, seorang Protestan dan pernah menjadi Rektor di Universitas Berlin pada tahun 1815-1816, digelar sebagai “the founder of General Hermeneutics.” Gelar tersebut diberikan karena pemikirannya dianggap telah memberi nuansa baru dalam teori penafsiran.33 Materi kuliahnya “universal hermeneutic” menjadi rujukan Gadamer dan berpangaruh terhadap pemikiran Weber dan Dilthey. Ia dianggap sebagai filosof Jerman pertama yang terus menerus memikirkan persoalan-persoalan hermeneutika. Karena itu ia dianggap sebagai Bapak Hermeneutika modern dan juga pendiri Protestan Liberal.34 Schleiemecher menandai lahirnya hermeneutika yang bukan lagi terbatas kepada idiom filologi maupun eksegesis Bibel, melainkan prinsip-prinsipnya bisa digunakan sebagai fondasi bagi semua ragam interpretasi teks.[6]
2. Wilhelm Dilthey (1833-1911)
      Wilhelm adalah penulis biografi Scleiermacher dan salah satu pemikir filsafat besar pada akhir abad ke-19. Dia melihat hermeneutika adalah inti disiplin yang dapat digunakan sebagai pondasi bagi geisteswissenschaften (yaitu, semua disiplin yang memfokuskan pada pemahaman seni, aksi, dan tulisan manusia). Wilhelm Dilthey adalah seorang filosof, kritikus sastra, dan sejarawan asal Jerman.[7]
      Bagi filosof yang pakar metodologi ilmu-ilmu sosial ini, hermeneutika adalah “tehnik memahami ekspresi tentang kehidupan yang tersusun dalam bentuk tulisan”. Oleh karena itu ia menekankan pada peristiwa dan karya-karya sejarah yang merupakan ekspresi dari pengalaman hidup di masa lalu.[8]
3. Martin Heidegger (1889-1976)
      Latar belakang intelektualitas Heidegger berada dibawah pengaruh fisika, metafisika dan etika Aristotle yang di interpretasikan oleh Husserl dengan metode fenomenologinya. Pendiri fenomenologi, Edmund Husserl, adalah guru dan sekaligus kawan yang paling dihormati dan disegani oleh Heidegger. Pemikiran Heidegger sangat kental dengan nuansa fenomenologis, meskipun akhirnya Heidegger mengambil jalan menikung dari prinsip fenomenologi yang dibangun Husserl. Fenomenologi Husserl lebih bersifat epistemologis karena menyangkut pengetahuan tentang dunia, sementara fenomenologi Heidegger lebih sebagai ontologi karena menyangkut kenyataan itu sendiri. Heidegger menekankan, bahwa fakta keberadaan merupakan persoalan yang lebih fundamental ketimbang kesadaran dan pengetahuan manusia, sementara Husserl cenderung memandang fakta keberadaan sebagai sebuah datum keberadaan. Heidegger tidak memenjara realitas dalam kesadaran subjektif, melainkan pada akhirnya realitas sendiri yang menelanjangi dirinya di hadapan subjek. Bagi Heidegger, realitas tidak mungkin dipaksa untuk menyingkapkan diri. Realitas, mau tidak mau, harus ditunggu agar ia menyingkapkan diri.[9]
      Heidegger mengembangkan hermeneutika sebagai interpretasi yang berdimensi ontologis. Dalam pandangan Heidegger, pemahaman (verstehen) bukanlah sebuah metode. Menurutnya pemahaman lebih dari sekedar metode. Sebabnya pemahaman telah wujud terlebih dahulu (pre-reflective understanding) sebelum merefleksikan sesuatu. Heidegger menamakan pra-pemahaman tersebut sebagai Dasein, yang secara harfiah berarti disana-wujud.[10]
      Apa yang ditulis Heidegger sebagai hermeneutika tidak bisa dipahami dalam pengertian pemahaman yang subjektif. Hermeneutika juga bukan hanya sebuah metode pengungkapan realitas. Hermeneutika adalah hakikat keberadaan manusia yang menyingkap selubung Ada (Sain).
Hermeneutika Heidegger telah mengubah konteks dan konsepsi lama tentang hermeneutika yang berpusat pada analisa filologi interpretasi teks. Heidegger tidak berbicara pada skema subjek-objek, klaim objektivitas, melainkan melampaui itu semua dengan mengangkat hermeneutika pada tataran ontologis.[11]
4. Hans-Georg Gadamer (1900-1998)
      Gadamer menegaskan bahwa pemahaman adalah persoalan ontologis. Ia tidak menganggap hermeneutika sebagai metode, sebab baginya pemahaman yang benar adalah pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis bukan metodologis. Artinya kebenaran dapat dicapai bukan melalui metode tapi melalui dialektika, dimana lebih banyak pertanyaan dapat diajukan. Dan ini disebut filsafat praktis. Gadamer melontarkan konsep “pengalaman” historis dan dialektis, di mana pengetahuan bukan merupakan bias persepsi semata tetapi merupakan kejadian, peristiwa, perjumpaan. Gadamer menegaskan makna bukanlah dihasilkan oleh interioritas individu tetapi dari wawasan-wawasan sejarah yang saling terkait yang mengkondisikan pengalaman individu. [12]
      Gadamer mempertahankan dimensi sejarah hidup pembaca.
Filsafat hermeneutika Gadamer meniscayakan wujud kita berpijak pada asas hermeneutis, dan hermeneutika berpijak pada asas eksistensial manusia. Ia menolak segala bentuk kepastian dan meneruskan eksistensialisme Heidegger dengan titik tekan logika dialektik antara aku (pembaca) dan teks/karya. Dialektika itu mesti difahami secara eksistensialis, karena hakikatnya memahami teks itu sama dengan pemahaman kita atas diri dan wujud kita sendiri.[13]
5. Jurgen Habermas (1929)
      Habermas sebagai penggagas hermeneutika kritis menempatkan sesuatu yang berada di luar teks sebagai problem hermeneutiknya. Sesuatu yang dimaksud adalah dimensi ideologis penafsir dan teks, sehingga dia mengandaikan teks bukan sebagai medium pemahaman, melainkan sebagai medium dominasi dan kekuasaan. Di dalam teks tersimpan kepentingan pengguna teks. Karena itu, selain horizon penafsir, teks harus ditempatkan dalam ranah yang harus dicurigai. Menurut Habermas, teks bukanlah media netral, melainkan media dominasi. Karena itu, ia harus selalu dicurigai.[14]
      Bagi Habermas pemahaman didahului oleh kepentingan. Yang menentukan horizon pemahaman adalah kepentingan sosial (social interest) yang melibatkan kepentingan kekuasaan (power interest) sang interpereter.[15]
6. Paul Richour (1913-2005)
      Paul Richour mendefinisikan hermeneutika yang mengacu balik pada fokus eksegesis tekstual sebagai elemen distingtif dan sentral dalam hermeneutika. Hermeneutika adalah proses penguraian yang beranjak dari isi dan makna yang nampak ke arah makna terpendam dan tersembunyi. Objek interpretasi, yaitu teks dalam pengertian yang luas, bisa berupa simbol dalam mimpi atau bahkan mitos-mitos dari simbol dalam masyarakat atau sastra. Hermeneutika harus terkait dengan teks simbolik yang memiliki multi makna (multiple meaning); ia dapat membentuk kesatuan semantik yang memiliki makna permukaan yang betul-betul koheren dan sekaligus mempunyai signifikansi lebih dalam. Hermeneutika adalah sistem di mana signifikansi mendalam diketahui di bawah kandungan yang nampak.[16]
      Konsep yang utama dalam pandangan Ricoeur adalah bahwa begitu makna obyektif diekspresikan dari niat subyektif sang pengarang, maka berbagai interpretasi yang dapat diterima menjadi mungkin. Makna tidak diambil hanya menurut pandangan hidup (worldview) pengarang, tapi juga menurut pengertian pandangan hidup pembacanya. Sederhananya, hermeneutika adalah ilmu penafsiran teks atau teori tafsir.[17]
7. Muhammed Arkoun
      Setelah membahas pemikiran tokoh-tokoh di atas, ada baiknya untuk membahas pemikiran Muhammed Arkoun yang telah mengadopsi teori-teori hermeneutika ketika menafsirkan Alquran. Muhammad Arkoun adalah pemikir reformatif-dekonstruktif sekaligus intelektual wilayah ‘tak terpikirkan’ (al-la mufakkar fih/L’impensê/unthikable) yang lahir pada 1 Februari 1928 di Tourirt-Mimoun, Kabilia, Aljazair. Sejak tahun 1961 Arkoun diangkat menjadi dosen di Universitas Sorbone Paris. Corak konstruksi pemikiran epistemik Arkoun sangat terlihat dipengaruhi oleh post-strukturalis Perancis. Metode historisisme yang dijadikan pisau bedah analisis Arkoun adalah formulasi ilmu-ilmu sosial Barat modern hasil ciptaan para pemikir post-strukturalis Perancis.[18]
      Kritik epistemik nalar Islam dan analisis dekonstruktif merupakan harga mati bagi Akoun guna mencapai kebangkitan kembali peradaban Islam yang sampai kini masih terkapar dalam hegemoni ortodoksi dan dogmatisme. Kerja ilmiah ini digarap oleh Arkoun dengan cara mengkritik secara dekonstruktif terhadap mekanisme-mekanisme berpikir konvensional yang telah memproduk sistem-sistem teologis dan keyakinan-keyakinan yang amat varian dan, sebagai langkah kedua, kemudian merekonstruksi pondasi-pondasi epistemiknya.[19]
      Muhammed Arkoun berpendapat bahwa Mushaf Utsmani tidak lain hanyalah hasil sosial dan budaya masyarakat yang dijadikan “tak terfikirkan” disebabkan semata-mata kekuatan dan pemaksaan penguasa resmi. Ia mengusulkan supaya membudayakan pemikiran liberal (free thinking). Ia mencapai pemikiran liberal dengan dekonstruksi. Baginya, dekonstruksi adalah sebuah ijtihad yang akan memperkaya sejarah pemikiran dan memberikan sebuah pemahaman yang lebih baik tentang Alquran. Jika masalah-masalah yang selama ini ditabukan dan dilarang dan semua itu diklaim sebagai sebuah kebenaran, jika didekonstruksi, maka semua diskursus tadi akan menjadi diskursus terbuka.
Menurutnya pendekatan historitas, meskipun berasal dari Barat, tidak hanya sesuai untuk warisan budaya Barat saja.Tetapi pendekatan tersebut dapat diterapkan pada semua sejarah umat manusia dan bahkan tidak ada jalan lain dalam menafsirkan wahyu kecuali menghubungkannya dengan konteks historis, yang akan menantang segala bentuk pensaklaran dan penafsiran transenden yang dibuat teolog tradisional. Arkoun dalam mengkaji studi ke-Islaman menaruh perhatian yang sangat tinggi pada teori Hermeneutika.[20]
D.    Pengertian Teori Kritis
Teori kritis adalah sebutan untuk orientasi teoritis tertentu yang bersumber dari Hegel dan Marx, disistematisasi oleh Horkheimer dan sejawatnya di Institut Penelitian Sosial di Frankfurt, dan dikembangkan oleh Habermas. Secara umum istilah ini merujuk pada elemen kritik dalam filsafat Jerman yang dimulai dengan pembacaan kritis Hegel terhadap Kant. Secara lebih khusus, teori kritis terkait dengan orientasi tertentu terhadap filsafat yang ”dilahirkan” di Frankfurt. Istilah teori kritis pertama kali ditemukan Max Horkheimer pada tahun 30-an. Pada mulanya teori kritis berarti pemaknaan kembali ideal-ideal modernitas tentang nalar dan kebebasan, dengan mengungkap deviasi dari ideal-ideal itu dalam bentuk saintisme, kapitalisme, industri kebudayaan, dan institusi politik borjuis.
Untuk memahami pendekatan teori kritis, ia harus ditempatkan dalam konteks Idealisme Jerman dan kelanjutannya. Karl Marx dan generasinya menganggap Hegel sebagai orang terakhir dalam tradisi besar pemikiran filosofis yang mampu ”mengamankan” pengetahuan tentang manusia dan sejarah. Namun, karena beberapa hal, pemikiran Marx mampu menggantikan filsafat teoritis Hegel, yang hal ini, menurut Marx, terjadi dengan membuat filsafat sebagai hal yang praktis; yakni merubah praktik-praktik yang dengannya masyarakat mewujudkan idealnya. Dengan menjadikan nalar sebagai sesuatu yang ’sosial’ dan menyejarah, skeptisisme historis akan muncul untuk merelatifkan klaim-klaim filosofis tentang norma dan nalar menjadi ragam sejarah dan budaya forma-forma kehidupan.
Teori kritis menolak skeptisisme diatas dengan tetap memertahankan kaitan antara nalar dan kehidupan sosial. Dengan demikian, teori kritis menghubungkan ilmu-ilmu sosial yang bersifat empiris dan interpretatif dengan klaim-klaim normatif tentang kebenaran, moralitas, dan keadilan yang secara tradisional merupakan bahasan filsafat. Dengan tetap memertahankan penekanan terhadap normativitas dalam tradisi filsafat, teori kritis mendasarkan cara bacanya dalam konteks jenis penelitian sosial empiris tertentu, yang digunakan untuk memahami klaim normatif itu dalam konteks kekinian.[21]
Di zaman modern, filsafat secara ketat dibedakan dari sains. Locke menyebut filsafat sebagai ’pekerja kasar’. Bagi Kant, filsafat, khususnya filsafat transenden, memiliki dua peran. Pertama, sebagai ”hakim” yang dengannya sains dinilai. Kedua, sebagai wilayah untuk memunculkan pertanyaan normatif. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan normatif, dalam perspektif Kantian, sains tidak dibutuhkan, karena hal itu dijawab melalui analisis transenden. Teori kritis yang berorientasi emansipasi berusaha mengkontekstualisasi klaim-klaim filosofis tentang kebenaran dan universalitas moral tanpa mereduksinya menjadi sekedar kondisi sosial yang menyejarah. Teori kritis berusaha menghindari hilangnya kebenaran yang telah dicapai oleh pengetahuan masa lalu. Tentang hal ini Horkheimer menyatakan ”Bahwa semua pemikiran, benar atau salah, tergantung pada keadaan yang berubah sama sekali tidak berpengaruh pada validitas sains”.
Teori kritis memungkinkan kita membaca produksi budaya dan komunikasi dalam perspektif yang luas dan beragam. Ia bertujuan untuk melakukan eksplorasi refleksif terhadap pengalaman yang kita alami dan cara kita mendefinisikan diri sendiri, budaya kita, dan dunia. Saat ini teori kritis menjadi salah satu alat epistemologis yang dibutuhkan dalam studi humaniora. Hal ini didorong oleh kesadaran bahwa makna bukanlah sesuatu yang alamiah dan langsung. Bahasa bukanlah media transparan yang dapat menyampaikan ide-ide tanpa distorsi, sebaliknya ia adalah seperangkat kesepakatan yang berpengaruh dan menentukan jenis-jenis ide dan pengalaman manusia.[22]
Dengan berusaha memahami proses dimana teks, objek, dan manusia diasosiasikan dengan makna-makna tertentu, teori kritis memertanyakan legitimasi anggapan umum tentang pengalaman, pengetahuan, dan kebenaran. Dalam interaksi sehari-hari dengan orang lain dan alam, dalam kepala seseorang selalu menyimpan seperangkat kepercayaan dan asumsi yang terbentuk dari pengalaman—dalam arti luas—dan berpengaruh pada cara pandang seseorang, yang sering tidak tampak. Teori kritis berusaha mengungkap dan memertanyakan asumsi dan praduga itu. Dalam usahanya, teori kritis menggunakan ide-ide dari bidang lain untuk memahami pola-pola dimana teks dan cara baca berinteraksi dengan dunia. Hal ini mendorong munculnya model pembacaan baru. Karenanya, salah satu ciri khas teori kritis adalah pembacaan kritis dari dari berbagai segi dan luas. Teori kritis adalah perangkat nalar yang, jika diposisikan dengan tepat dalam sejarah, mampu merubah dunia. Pemikiran ini dapat dilacak dalam tesis Marx terkenal yang menyatakan ”Filosof selalu menafsirkan dunia, tujuannya untuk merubahnya”. Ide ini berasal dari Hegel yang, dalam Phenomenology of Spirit, mengembangkan konsep tentang objek bergerak yang, melalui proses refleksi-diri, mengetahui dirinya pada tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Hegel menggabungkan filsafat tindakan dengan filsafat refleksi sedemikian rupa sehingga aktivitas atau tindakan menjadi momen niscaya dalam proses refleksi. Hal ini memunculkan diskursus dalam filsafat Jerman tentang hubungan antara teori dan praktis, yakni bahwa aktivitas praktis manusia dapat merubah teori. Teori kritis, dengan demikian, adalah pembacaan filosofis—dalam arti tradisional—yang disertai kesadaran terhadap pengaruh yang mungkin ada dalam bangunan ilmu, termasuk didalamnya pengaruh kepentingan.[23]

E.     Kekhasan Teori Krotis
 Yang merupakan ciri khas Teori Kritis adalah bahwa teori itu berbeda dengan pemikiran falsafi yang tradisional (dari hegel dan Husserl sampai ke Heidegger) tidak bersifat konteplatif saja, dan tidak dimaksud untuk menjadi lamunan beberapa filsuf jauh dari hidup masyarakat yang nyata. Melainkan Teori Kritis memandang diri sebagai pewaris cita-cita Karl Marx, sebagai teori yang menjadi emansipatoris: teori itu mau mengembalikan kemerdekaan dan masa depan manusia. Teori Kritis tidak hanya mau menjelaskan, mempertimbangkan, meefleksikan, mengkategorikan dan menata, melainkan ia mau mengubah. Yang mau diubah bukan filsafat, melainkan pemberangusan manusia oleh hasil pekerjaannya sendiri. Teori kritis mau menjadi praktis.[24]
Teori kritis mangadakan analisis baru terhadap masyarakat yang dipahami sebagai “masyarakat kapitalis tua”. Ketajaman analisa itu diakui juga oleh banyak pihak yang berbeda pandangan nya. Yang dihangatkan kembali dalam Teori Kritis bukanlah Teori Marx yang usang, melainkan maksud dasar Marx, yaitu pembebasan manusia dari segala belenggu pengisapan dan penindasan.[25]

F.      Kemacetan Teori kritis
 Salah satu penyebab kemacetannya adalah bahwa Teori Kritis terlalu terkesan oleh daya integratif sistim masyarakat kapitalisme tua. Dalam kenyataan kaum buruh belum tentu selalu dapat dipenuhi. Gejala kemikinan baru, masalah energi dan lingkungan hidup menunjukkan bahwa the affluent socity di Baratpun belum seluruhnya tercapai.[26]
Teori Kritis gagal bukan hanya karena perkambangan ekonomi dunia berbeda dari pengandaiannya. Melainkan karena mereka tetap bertolak dari pengandaian-pengandaian filsofis Karl Marx. Dengan demikian Teori Kritis sudah menanamkan kegagalan kedalam pengandaian-pengandaiannya sendiri.[27]
Titik tolak Teori Kritis adalah manusia sebagai makhluk yang berkabutuhan. Tetapi apakah deskripsi yang mereka ambil begitu saja dari Karl Marx itumemadai? Bukankah kebutuhan itu hanya salah satu unsur dalam identitas manusia, bukan sesuatu yang sudah jadi, melainkan yang ditentukan oleh kebiasaan lingkungan, oleh penilaian-penilaian kita sendiri, oleh cara kita memandang hidup kita. Suatu makhluk yang seluruhnya ditentukan oleh kebutuhannya memang dapat seluruhnya dimanipulasikan. Tetapi apabila kebutuhan manusia sendiri tidak lepas dari penilaian-penilainny, suatu manipulasi yang total tidak mungkin. Pesimisme totao Teori Kritia adala akibat kesempitan pahamnya tentang manusia.[28]
Begitu juga, secara kritis Teori Kritis menarima dari Marx bahwa anusia itu makhluk yang bekerja. Dan karena bekerja selalu berarti menguasai, maka pekerjaan untuk pembebasan itu selalu akan menghasilkan perbudakan baru. Namun, sebagaimana antara lain diperlihatkan oleh jurgen habermas, pekerjaan itu hanya satu tindakan dasar manusia saja. Pekerjaan adalah usaha manusia untuk menyesuaikan alam dengan kebutuhan-kebutuhannya. Disamping pekerjaan masih terdapat tindakan yang sama dasariah, yaitu interaksi atau komunikasi antar manusia. Kekeliruan fatal teori kritis dalah bahwa sama denga Karl Marx, komunikasi dipahami melalui model pekerjaan. Sehingga komunikasi mesti berupa usaha untuk saling menguasai. Sedangkan komunikasi yang baik dengan sendirinya mengandaikan kebebasan. Kebebasan itu mesti hilang apabila hubungan antar manusia dipahami menurut cara manusia berhubungan dengan alam. Karena pengnadaian-pengandaian antropologis yang sungguh-sungguh melest itulah maka Marx membuat manusia sama sekali ditentukan oleh faktor-faktor ekonomis dan Horkeimer mengartikan segala macam manipulasi, penindasan dan pengisapan yang memang berlimpah-limpah itu sebagai suatu sistem manipulasi yang total yang tidak dapat diobrak.[29]
 Bahwa penindasan kebebasan tak dapat bersifat total ditunjukkan oleh jurgen Habermas. Menurut dia, masih ada tempat dimana manusia dapat mengalami ide kebebasan, sehingga selalu masih ada tempat berpijak untuk menentang penindasan (tempat itulah yang tidak diketemukan oleh horkheimer dan Adorno, dan karena itu mareka menyerah). Tempat itudala faktor adanya komunikasi. Habermas memperlihatkan bahwa komunikasi tidak mungkin tanpa adanya kebebasan. Kita dapat saja dipaksa atau didesak untuk mengrti. Menangkap maksud orang lain pun tidakpernah dapat dipaksakan. Begitu pula orang tidak bisa dipaksa menyadari suatu kebeneran, untuk menyetujui suatu pendapat dalm hati, atau untuk mencintai seseorang. Dalam pengalaman komunikasi sudah tertanam pengalaman kebebasan. Dan masih banyak lagi faktor penyebab kemacetan Teori Kritis.[30]
G.     Tokoh Teori Kritis
Teori kritis adalah anak dari aliran besar filsafat berinspirasi Karl Marx yang paling jauh meninggalkan Marx. Mereka juga disebut Aliran Frankfurt (Frankfurter Schule) kerena mereka semula bertumbuh pada “Institut fur Sozialforschung di frankfurt/Main di Jerman”.[31]
Dua tokoh utama Teoro Kritis dalah Max Horkheimer (1895-1973) dan Theodor Wiesengrund Ardono (1903-1969). tokoh ketiga yang lebih berjalan sendiri tetapi barangkali paling terkenal adalah herbert Marcuse (1898-1979). namun semula aliran ini membutuhkan waktu yang lama sekali sampai berhasil menarik perhatian para kalangan filsafat umum. Walaupun beberapa tulisa berbobot sudah terbit dalam tahun 30-an, namun dalam kebanyakan kamus filsafat, sampai tahun ke-60an, nama-nama tokoh itu percuma kita cari.[32]
Teori kritis baru betul-betul menjadi bahan diskusi dikalangan filsafat dan sosiologi pada tahun 1961. pada tahun ini Deutsche Gesellschaft fur Soziologia mangadakan pertemuan dimana terjadi konfrontasi antara Ardono dabn Karl Popper. Konfrontasi itu kemudian masih dilanjutakan oleh Hans Albert di pihak Popper dan Jurgen dipihak Ardono. Konfrontasi itu masuk kedalam sejarah filsafat dijerman sebagai perdebatan positivisme dalam sosiologo Jerman yang untuk satu dasawarsa lebih menghidupkan panggung filsafat-filsafat di unuversitas-universitas Jerman. Baru Jurgen Hebermas, murid ardono di frankfurt, berhasil mengitegrasikan tuntutan keras metode-metode analitis kedalam pemkiran dialektis Teori Kritis.[33]

















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Pengertian Hermeneutika
Hermeneutik berasal dari kata yunani hermeneuein yang bermakna mengartikan, menafsirkan, menerjamahkan, dan bertindak sebagai penafsir dalam rangka membedakan hermeneutika hermetik .Sedangkan kata hermetik merupakan pandangan filsafat yang diasosiasikan pada tulisan-tulisan hermetic suatu leteratur ilmiah di yunani yang berkembang pada awal-awal abad setelah kristus.
2.      Sejarah Hermeneuitika
Pada awalnya ia hanya sebatas subdisiplin teologi yang sudah muncul sejak awal dalam sejarah peradaban manusia yang mencakup kajian metodologis tentang autentitas dan penafsiran teks. Namun dalam kurun berikutnya, Hermeneutika perkembang menjadi kajian penafsiran secara menyeluruh dengan ruang lingkup yang lebih luas.
3.      Tokoh Hermeneutika
a.       Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher (1768-1834).
b.       Wilhelm Dilthey (1833-1911)
c.       Martin Heidegger (1889-1976)
d.      Hans-Georg Gadamer (1900-1998)
e.       Jurgen Habermas
f.       Paul Richour (1913-2005)
g.      Muhammed Arkoun
4.      Pengertian Teori Kritis
18
 
Teori kritis adalah sebutan untuk orientasi teoritis tertentu yang bersumber dari Hegel dan Marx, disistematisasi oleh Horkheimer dan sejawatnya di Institut Penelitian Sosial di Frankfurt, dan dikembangkan oleh Habermas.
5.      Kekhasan Teori Krotis
Yang merupakan ciri khas Teori Kritis adalah bahwa teori itu berbeda dengan pemikiran falsafi yang tradisional (dari hegel dan Husserl sampai ke Heidegger) tidak bersifat konteplatif saja, dan tidak dimaksud untuk menjadi lamunan beberapa filsuf jauh dari hidup masyarakat yang nyata. Melainkan Teori Kritis memandang diri sebagai pewaris cita-cita Karl Marx, sebagai teori yang menjadi emansipatoris.
6.      Kemacetan Teori kritis
Salah satu penyebab kemacetannya adalah bahwa Teori Kritis terlalu terkesan oleh daya integratif sistim masyarakat kapitalisme tua. Dalam kenyataan kaum buruh belum tentu selalu dapat dipenuhi. Gejala kemikinan baru, masalah energi dan lingkungan hidup menunjukkan bahwa the affluent socity di Baratpun belum seluruhnya tercapai.
7.      Tokoh Teori Kritis
a.       Max Horkheimer (1895-1973)
b.      Theodor Wiesengrund Ardono (1903-1969)
c.       Herbert Marcuse (1898-1979).










 
DAFTAR PUSTAKA

… 2010. Hermeneutika.  http://id.shvoong.com. Artikel diakses pada 23 mei 2012
… Sejarah dan Perkembangan Hermeneutika. http://abdurrahmanbinsaid.wordpress.com. artikel diakses pada 23 mei 2012 .
…Teori Kritis, Adorno, dan Habermas. http://robbani.wordpress.com. Artikel diakses pada 21 mei 2012
 artikel diakses pada 22 mei 2012
Bleicher, Joseph. 1980. Contemporary Hermeneutics. London : Routledge and Kegan Paul.
Kanisus. 1998. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: kanisus.
Syekhuddin. Filsafat Hermeneutika. http://jaringskripsi.wordpress.com.














 
KATA   PENGANTAR

Segala puji penulis panjatkan kehadirat Illahi Rabbi, atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya. Karena-Nyalah kita dapat merasakan kenikmatan yang besar yang tidak dapat diukur oleh apapun. Dan karena itu pula penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini dengan judul ”Hermeneutika dan Teori Kritis” walaupun  belum begitu maksimal. Makalah ini penulis buat dalam rangka penyelesaian tugas Filsafat ilmu. Penulis berharap semoga karya tulis ini dapat bermanfaat, terutama bagi dunia pendidikan di lingkungan IAIN SUNAN AMPEL SURABAYA.
Akhinya tak lupa penulis mengucapkan banyak terima kasih atas segala bantuan dan dorongan dari dosen pembimbing dan semua pihak. Semoga makalah ini dapat memberikan sumbangan yang positif bagi kita semua, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca. Kami menyadari tidak ada sesuatu yang sempurna di dunia ini. kami berharap kritik dan saran yang membangun dari segenap pembaca.







    Surabaya, 27 Mei 2012

  
                                                                                 Penyusun




ii
 
 

 
DAFTAR ISI

Halaman Judul.............................................................................................................. i
Kata Pengantar............................................................................................................ ii
Daftar Isi..................................................................................................................... iii
BAB I  Pendahuluan
A. Latar Belakang................................................................................................ 1
B. Tujuan...................................................................................................... ....... 1

BAB II   Pembahasan
A. Pengertian Hermeneutika........................................................................ ....... 2
B. Sejarah Hermeneutika.............................................................................. ....... 4
C.Tokoh Hermeneutika........................................................................................ 5
D.Pengertian Teori Kritis................................................................................... 11
E.Kekhasan Teori Kritis..................................................................................... 14
F. Kemacetan Teori Kritis.................................................................................. 14
G. Tokoh Teori Kritis......................................................................................... 16

BAB III  Penutup
         A. Kesimpulan.............................................................................................. ..... 18
          
Daftar Pustaka                                                 





iii
 
 


[1] Joseph Bleicher, Contemporary Hermeneutics,(London : Routledge and Kegan Paul, 1980), hal. 12
[2]…,”hermeneutika”, artikel diakses pada 23 mei 2012dari http://id.shvoong.com
[3] Syekhuddin,” Filsafat Hermeneutika”, artikel diakses pada 22 mei 2012 dari http://jaringskripsi.wordpress.com.
[4] Ibid,.
[5]…,”sejarah dan perkembangan hermeneutika” artikel diakses pada 23 mei 2012 dari http://abdurrahmanbinsaid.wordpress.com

[6] Ibid,.
[7] Ibid,.
[8] Ibid,.
[9] Ibid,.
[10] Ibid,.
[11] Ibid,.
[12] Ibid,.
[13] Ibid,.
[14] Ibid,.
[15] Ibid,.
[16] Ibid,.
[17] Ibid,.
[18] Ibid,.
[19] Ibid,.
[20] Ibid,.
[21] …,” Teori Kritis, Adorno, dan Habermas”artikel diakses pada 21 mei 2012 dari http://robbani.wordpress.com
[22] Ibid,.

[23] Ibid,.

[24] Kanisus, filsafat sebagai ilmu kritis, (Yogyakarta: kanisus,1998),. h. 162
[25] Ibid,. h. 162-163
[26] Ibid,. h. 170
[27] Ibid,. h. 170
[28] Ibid,. h. 170
[29] Ibid,. h. 170-171
[30] Ibid,. h. 171
[31] Ibid,. h. 160
[32] Ibid,. h. 160-161.
[33] Ibid,. h. 161

0 comments: