' Nuqy Nuqy: Keadaan masyarakat Arab setelah Islam datang

Monday, May 27, 2013

Keadaan masyarakat Arab setelah Islam datang

BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
               Kebudayaan merupakan bentuk ungkapan masyarakat tentang semangat mendalam suatu masyarakat. Sedangkan manifestasi-manifestasikemajuan mekanis dan teknologi lebih berkaitan dengan peradaban. Kalau kebudayaan lebih banyak diferleksikan dalam sastra, realigi (agama), dan moral. Maka peradaban terrefleksi dalam politik, ekonomi, dan teknologi. Pembahasan sejarah perkembangan peradaban Islam yang sangat panjang dan luas itu tidak bisa dilepaskan dari pembahasan sejarah perkembangan politiknya. Sistem politik dan pemerintahan merupakan salah satu aspek penting dari peradaban.                     Sejarah politik dunia Islam dibagi menjadi tiga periode: period klasik, periode pertengahan, dan periode modern. Banyak diantara kita yang mengetahui Islam pada periode sekarang ini saja tanpa mengetahui bagaimanan sejarah tumbuhnya Islam.


Rumusan Masalah
1.      Bagaimana keadaan masyarakat Arab sebelum Islam datang?
2.      Bagaimana keadaan masyarakat Arab setalah Islam datang?


B.  Tujuan Pembahasan
1.      Mengetahui keadaan masyarakat Arab sebelum Islam datang.
2.      Mengetahui keadaan masyarakat Arab setelah Islam datang.


BAB II
PEMBAHASAN

A.   Masyarakat Arab Pra-Islam
               Sebelum Islam datang, masyarakat Arab dikenal dengan nama masyarakat Jahiliyah, yang berarti bodoh. Sebutan Jahiliyah diberikan kepada masyarakat Arab dikarenakan pola kehidupan mereka yang bersifat primitive dan ummi yang berarti buta (tidak mengenal baca dan tulis).[1] Masyarakat Arab pra-Islam hidup berpindah-pindah (nomaden) dan berkabilah-kabilah.
               Sebuah kabilah yang dipimpin oleh seorang kepala yang disebut Syaikh Al-Qabilah.[2] Antara kabilah satu dan yang lain sering terjadi persaingan dan perselisihan. Perselisihan keras antar kabilah memaksa bangsa Arab pra-Islam menghabiskan sebagian besar waktu mereka dalam peperangan.
               Sebab-sebab terjadinya perang adakalanya bersifat elementer seperti perebutan kekuasaan, adakalanya bersifat spele seperti kata-kata yang bersifat menyinggung perasaan seseorang, dan lain sebagainya.
               Akibat dari perselisihan itu tidak sedikit darah yang tertumpah sia-sia. Kebiasaan buruk masyarakat Arab Jahiliyah adalah membunuh anak perempuan mereka dengan dalih kemuliaan dan kesucian.
               Sebagian besar bangsa Arab Jahiliyah adalah penyembah berhala, masing-masing kabilah memiliki berhala sendiri-sendiri. Yang terkenal diantaranya adalah Lata, Uzza, Manah, dan Hubal.[3] Patung milik Quraisy yang terbuat dari aqiq dan batu hitam.
               Bangsa Arab pada zaman Jahiliyah sudah mencapai kebudayaan rohani yang tidak kalah maju dari kebudayaan bangsa-bangsa lain semasa di sekitarnya. Akan tetapi, mereka tertinggal jauh oleh bangsa lain dalam aspek kebudayaan yang bersifat materi. Gambaran mengenai kebudayaan bangsa Arab Jahiliyah dapat disimak dari bahasa Arab dan syair Jahiliyah yang menunjukkan kehidupan yang telah mencapai tingkat kemajuan.
               Peranan syair sangat dominan dalam kehidupan masyarakat Jahiliyah. Syair pada zaman Jahiliyah memiliki peranan sebagai pers dalam kebudayaan modern dengan syair mobilitas sosial bisa dilakukan dengan efektif.
]
B.  Periode Klasik
               Periode klasik (650-1250M). Periode ini meliputi dua masa. Yaitu: masa kemajuan dan masa disintegrasi. Yang termasuk dalam masa kemajuan, yaitu masa Rasulullah SAW, Khulafaurrasyidun, Bani Umayyah, dan masa permulaan daulah Abbasiyah. Pada masa ini, Islam berkembang dari system keagamaan pada masa Makkah menjadi sistem kenegaraan pada masa Madinah, dan pada masa Bani Umayyah di Damaskus. Setelah itu Islam berkembang menjadi pusat kebudayaan dan peradaban, yaitu pada masa Daulah Abbasiyah di Baghdad dan Daulah Amawiyah II di Andalusia.[4]
               Setelah Islam mencapai puncak keemasannya (650-1000M), maka tibalah masa disintegrasi  (1000-1250) yang ditandai dengan lemahnya kekuasaan khalifah dan semata-mata sebagai boneka bagi pengawalnya dan lemahnya control pemerintahan pusat terhadap daerah-daerah yang jauh letaknya dari pusat.[5]
               Pada masa kemajuan itu, ditandai dengan diutusnya Nabi menjadi Rosul, dan adapula yang berpendapat bahwa periode ini di tandai dengan peristiwa hijrahnya Rasulullah ke Madinah (16 Juli 622M). Nabi diutus untuk menyebarkan agama Islam dan perantaranya adalah Al-Qur’an. Karena pada saat itu masyarakat Jahiliyah sangat gandrung dengan kesusastraan. Maka dari itu, Al-Qur’an di turunkan dengan bahasa sastra, seperti yang lazim dipakai oleh masyarakatnya. Hal ini didasarkan atas pertimbangan:
1.    Untuk menyesuaikan diri dengan tradisi masyarakatnya, sehingga dengan demikian mereka bisa berkomunikasi dengan bahasa Arab.
2.    Untuk menantang mengungguli syair-syair Jahiliyah, sehingga Al-Qur’an memiliki daya hidup dan vitalis yang tinggi di tenah-tengah aktivitas dan kepandaian orang Arab dalam bersyair. Fungsi Al-Qur’an sebagai mu’jizat bagi kelangsungan tugas Nabi Muhammad SAW.[6]
               Selama 10 tahun Rasulullah tinggal di Madinah, sehingga ia dan kaun muslimin mendapatkan kesempatan untuk menaklukkan Makkah dan membebaskan Ka’bah dari berbagai berhala yang sebelumnya berada di sekitarnya. Nabi meninggal di usia 63 tahun pada tahun 632M/11H. Setelah itu kepemimpinan umat Islam berada di tangan Abu Bakar (w.634M/11H). Kebijakan pertama yang di lakukannya adalah memerangi orang-orang yang murtad dan golongan yang menolak membayar zakat. Pada masa itu pula ia berhasil mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf yang sebelumnya berserakan dalam berbagai tulisan di pelepah kurma, batu tipis, tulang, dan lembaran kain .[7]
               Umar bin Khattab (w. 644M/23 H) melanjutkan kepemimpinan Islam setelah Abu Bakar. Usman bin Affan (w. 656M/35H), pada masa pemerintahannya ia berhasil menyusun Al-Qur’an dalam satu bentuk bacaan, yang sebelumnya memiliki banyak versi. Usman meninggal terbunuh usia 82 tahun ketika ia membaca Al-Qur’an akibat ketidakpuasan rakyatnya atas kebijakan politiknya yang cenderung nepotisme.[8]
               `Pada masa Ali bin Abi Tholib (w.661M/40H) terjadi berbagai kerusuhan dan kekacauan pasca terbunuhnya Usman. Ada satu keputusan yang ditetapkan Ali, yaitu memerangi kelompok pembangkan tersebut yang berujung pada perang Jamal yang dipimpin oleh Aisyah dan perang Shiffin yang dipimpin oleh Mu’awiyah.[9]
               Pemerintahan Abu Bakar ke Ali disebut masa khulafaurrasyidun. Setelah  itu, beralih menjadi kerajaan turun temurun. Dinasti pertama didirikan oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan (w.661M/41H).
               Dinasti Basni Umayyah mencapai puncak kejayaan pada masa Al-Walid (w.715M/96H). Sedang, Umar bin Abdul Aziz(w.720M/101H) adalah seorang khalifah Umayyah yang terkenal dengan ketaqwaan, kezuhudan, dan kejujurannya. Ia adalah khalifah ketiga setelah Abu Bakar dan Umar dari Khulafaurrasyidun.[10]
               Secara umum masa kekuasaan dinasti Umayah berlangsung selama 91 tahun. Khalifah-khalifah besar dari dinasti Umayah adalah Mu’awiyah bin Abi Sufyan (660-680 M)/40-60H), ‘Abd al-Malik bin Marwan (685-705M/65-86H), al-Walid bin ‘Abd al-Malik(705-715M/86-96H0, Umar bin ‘Abd Aziz (717-720M/99-101H). Sedangkan Marwan bin Muhammad (w.750M/132H).[11]
               Penyebab keruntuhan dinastu Umayah ada dua faktor, pertama: faktor intern, yaitu adanya persaingan dan perebutan kekuasaan diantara para keluarga khalifah. Kedua: factor ekstern, yaitu adanya perselisihan dan pengaruh yang cenderung yang mengarah pada fanatisme golongan Arab Mudariyah di Utara dan Yamaniyah di Selatan.[12]
               Dinasti Abbasiyah adalah pelanjut dinasti Umayyah. Pendiri dinasti tersebut adalah Abu al-Abbas al-Saffah (w.754M/136H) yang didukung oleh kaum Mawali pimpinan Abu Muslim yang berasal dari Khurasan, yaitu orang muslim non-Arab. Meskipun al-Saffah disebut sebagai pendiri Bani Abbasiyah, namun penggantinya Abu Ja’far Al-Mansur (w.776M/158H) yang harus disebut sebagai Pembina dan peletak dasar dinasti yang sebenarnya. Dinasti Abbasiyah mencapai puncak kejayaan pada masa Harun Al-Rosyid (w.809M/193H), perhatiannya lebih banyak di curahkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan keperluan social sampai-sampai kehidupan mewah, kesenangan dan kebesarannya digambarkan dalam cerita seribu satu malam.[13]
               Pengganti al_rosyid adalah Al-Amin (w.813M/198H), putranya adalah Al-Ma’mun (w.833M/218H). selanjutnya diganti oleh al-Mu’tashim (w.843M/227H). jadi, khalifah dinati Abbasiyah yang terakhir adalah al-Mu’tashim (w.1258M/656H) dan ia berkuasa ketika kota Baghdad diserbu oleh serangan Hulagu Khan tahun 1258 M.[14]
               Perbedaan antara dinasti Bani Umayyah dengan dinastu Bani Abbasiyah adalah: Pertama, Bani Umayyah lebih mendahulukan solidaritas Arabnya, Kedua, konsentrasi Bani Umayyah lebih besar pada perluasan wilayah Islam, dan dinasti Bani Abbasitah lebih banyak konsentrasinya pada peningkatan sumber daya menusia dengan menonjolkan ilmu pengetahuan dan ketrampilan, hingga peradaban Islam mencapai tingkat yang tinggi.[15]
               Secara umum periode klasik terbagi menjadi dua. Pertama, pada masa kemajuan dan keemasan Islam yang terjadi mulai tahun 650M sampai tahun 1000M. Sedangkan period kedua adalah masa kemunduran dan disintegrasi yang dimulai tahun 1000M hingga runtuhnya Baghdad pada tahun 1258 M.[16]

      








BAB III
KESIMPULAN

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa:
1.      Bangsa Arab sebelum datangnya Islam, dalam kondisi primitive, dan ummi. Oleh karena itu, mereka disebut Arab Jahiliyah.
2.      Periode Klasik Islam Arab mempunyai dua masa, yaitu : masa kemajuan, dan masa disintegrasi.

















[1] Study Islam IAIN Ampel Surabaya. ( Pengantar Study Islam. Surabaya:  Sunan Ampel Press, 2010), hal. 137.
[2] Umar Farrukh, op. cit, hlm. 18.
[3] Al-Qur’an: 53, Al-Najm, 20-21
[4] Abd. Jabbar Adlan, (Sejarah dan Pembaharuan Islam, Surabaya:  Anika Bahagia Offset. 1995), hal. 3.
[5] Ibid. hal 3
[6] Study Islam IAIN Ampel Surabaya. (Pengantar Study Islam. Surabaya:  Sunan Ampel Press. 2010), hal. 138.
[7] Muhammad al-Khudari Bik. (Tarikh al-Tashri’ al Islami. Mesir: Matba’ah al-Sa’adah.  1954), hal. 12.
[8] Study Islam IAIN Ampel Surabaya. (Pengantar Study Islam. Surabaya: Sunan Ampel Press. 2010), hal. 140.
[9]Ibid. hal. 141.
[10]Ibid. hal. 141.
[11] Ibid. hal 142.
[12] Hasan Ibrahim Hasan. ( Tarijh al-Islam al-Siyasi wa al-Dini wa al-Thaqafi wa al-Ijtima’I, vol II Cairo: MAktabat al-Nahdah al Misriyah, 1979), hal. 17.
[13] Study Islam IAIN Ampel Surabaya, Pengantar Study Islam. (Surabaya: Sunan Ampel Press, 2010), hal. 143.
[14] Mahmuddunnasir, Islam: its…, hal. 282.
[15] CE. Bosworth, The Islamic Dynasties, Terj. Ilyas Hasan, (Bandung: Mizan, 1993), hal. 30.
[16] Study Islam IAIN Ampel Surabaya, Pengantar Study Islam. (Surabaya: Sunan Ampel Press, 2010), hal. 144.

0 comments: